Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisinya sebesar 29 persen di bawah proyeksi bisnis seperti biasa pada 2030, atau sebesar 41 persen jika Indonesia menerima bantuan internasional. Meskipun 34 provinsi di Indonesia memiliki porsi tanggung jawab yang besar dalam target penurunan emisi, sedikit sekali yang kita ketahui tentang usaha penurunan atau sumber emisi di provinsi-provinsi tersebut.

Informasi yang dapat diakses tentang aksi iklim dan data emisi di tingkat sub-nasional sangat terbatas. Bahkan ketika data tersedia, seringkali format yang diberikan tidak memungkinkannya untuk dianalisis atau diubah lebih lanjut. Keterbatasan ini membuat publik sulit memahami bagaimana provinsi seharusnya mengambil tindakan untuk mengurangi emisinya atau mengawasi tanggung jawab pemerintah atas aksi iklimnya.

Maka dari itu, hari ini WRI Indonesia meluncurkan Platform Interaktif untuk Data Iklim (PINDAI) atau Indonesia Climate Data Explorer (CAIT Indonesia), yang memungkinkan pengguna untuk menelusuri, membandingkan, dan meningkatkan pemahaman akan emisi dan komitmen iklim 34 provinsi di Indonesia. Menggunakan data resmi dari pemerintah provinsi, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Badan Pusat Statistik (BPS), PINDAI memungkinkan kita untuk menjawab paling tidak enam pertanyaan paling penting terkait aksi iklim provinsi.

1. Sepuluh provinsi apa saja saja yang merupakan penghasil emisi tertinggi?

Sebagai bagian dari Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) tahun 2011, setiap provinsi harus mengajukan sebuah rencana aksi iklim di tataran lokal, yang dikenal sebagai Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK). RAD-GRK berperan penting untuk memberi kita pemahaman mengenai besaran emisi masing-masing provinsi. Menggunakan data yang tersedia bagi publik, kita sekarang dapat mempelajari penghasil emisi tertinggi berdasarkan emisi absolut, emisi per kapita, dan intensitas emisi di Indonesia per tahun 2010.

data

Berdasarkan data resmi dari pemerintah Indonesia, Sumatera Utara berada di urutan tertinggi dibandingkan provinsi-provinsi lainnya sebagai provinsi penghasil emisi tertinggi pada 2010. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh deforestasi masif yang telah terjadi di Ekosistem Leuser di Sumatera Utara selama hampir dua dekade, dan khususnya meningkat selama periode 2008-2013. Riau, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, dan Lampung menyusul di peringkat lima teratas penghasil emisi tertinggi. Sumber utama emisi di provinsi-provinsi tersebut bervariasi, mulai dari pertanian dan kehutanan, energi, transportasi dan industri, serta limbah.

data

data

Walaupun demikian, Kalimantan Tengah menyalip peringkat penghasil emisi tertinggi jika dilihat dari emisi per kapita dan intensitas emisi, yaitu suatu pengukuran emisi provinsi berdasarkan populasi dan Produk Domestik Bruto (PDB) provinsi tersebut. Indikator-indikator ini menurunkan kontribusi provinsi terhadap perubahan iklim berdasarkan individu dan perekonomian, yang juga merupakan cara yang berguna untuk mengukur distribusi emisi di seluruh Indonesia.

2. Sektor apa saja yang menjadi sumber emisi utama di tiap provinsi?

Setiap provinsi di Indonesia memiliki bentang alam dan aktivitas ekonomi yang berbeda-beda, sehingga sumber emisi di setiap provinsi pun pastilah berbeda. Meskipun mayoritas emisi nasional Indonesia berasal dari sektor perubahan tata guna lahan dan kehutanan (LUCF), PINDAI menunjukkan bahwa emisi dari sektor energi mendominasi di paling tidak sepuluh provinsi, termasuk Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Banten, D.I. Yogyakarta, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, dan Maluku. Memahami sumber emisi di provinsi dapat membantu pemerintah daerah dalam membuat kebijakan yang paling efisien untuk menurunkan emisi serta mendorong aktor non-pemerintah untuk mendukung proses tersebut.

data

data

3. Apa saja yang dilakukan provinsi untuk menurunkan emisinya?

PINDAI juga menyediakan ringkasan aktivitas mitigasi yang terangkum dalam RAD-GRK. Sebagai contoh, Aceh berencana merestorasi hutan dan lahan gambut yang terdegradasi, membuat inventaris gas rumah kaca dari sumber hutan dan lahan gambut, serta memprioritaskan penegakan hukum dan pengelolaan penggunaan perizinan di wilayah hutan dan lahan gambut. Di sisi lain, Jawa Timur menempatkan kebijakan untuk konservasi energi, pengembangan energi baru dan terbarukan, dan sistem transportasi pintar untuk menurunkan emisinya.

Menciptakan pemahaman yang lebih baik akan komitmen iklim provinsi akan membantu menarik pendukung yang tepat untuk memastikan tercapainya komitmen tersebut. Sebagai contoh, mengetahui provinsi mana saja yang memprioritaskan pengembangan energi baru dan terbarukan akan menarik investor atau organisasi masyarakat sipil dengan proyek energi bersih.

4. Apa saja yang dilakukan provinsi untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim?

Dari 33 RAD-GRK, hanya delapan yang menyediakan rencana adaptasi. Sebagai sebuah kepulauan dengan salah satu garis pantai terpanjang di dunia dan jutaan penduduk bergantung pada ekonomi pertanian, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim yang merugikan, dan dengan demikian harus mengintegrasikan rencana adaptasi ke aksi iklimnya dengan lebih baik. Walaupun Indonesia telah memiliki Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API), temuan dari PINDAI memberi isyarat bahwa Indonesia perlu memberi perhatian lebih pada bagaimana adaptasi dijalankan di tingkat sub-nasional.

data

5. Apakah komitmen iklim di tingkat provinsi selaras dengan target pembangunan?

Sebagai sebuah negara berkembang, penting bagi Indonesia untuk memastikan bahwa komitmen iklimnya sejalan dengan prioritas pembangunan. Tetapi, PINDAI menemukan adanya beberapa kesenjangan antara dua hal tersebut.

Sebagai contoh, rencana pembangunan di Kalimantan Barat berisi target “peningkatan konsumsi sumber daya mineral,” sedangkan Jawa Timur bertujuan “meningkatkan eksplorasi dan eksploitasi guna membangun pertambangan dan sumber daya mineral.” Prioritas pembangunan di dua provinsi tersebut bertolak belakang dengan aktivitas mitigasi yang diusulkan, seperti “melindungi hutan yang tersisa” dan “reforestasi.” Dua provinsi tersebut perlu menemukan cara untuk menyeimbangkan rencana pembangunan dan usaha penurunan emisi yang saat ini terlihat bersaing.

6. Seberapa jauh kemajuan yang telah dicapai?

PINDAI juga memungkinkan pengguna untuk memantau progres tahunan yang dilaporkan baik di tingkat provinsi dan nasional, berdasarkan data dari pemerintah yang tersedia. Berdasarkan data yang dilaporkan, pada 2013 Indonesia baru mencapai 2.25% dari keseluruhan target penurunan emisi gas rumah kaca di tingkat provinsi tahun 2020. Melihat bahwa Indonesia hanya memiliki sisa empat tahun, provinsi-provinsi di Indonesia harus mendorong implementasi yang lebih baik untuk mengejar pencapaian target di tahun 2020.

Langkah Selanjutnya

PINDAI mendukung transparansi terhadap komitmen penurunan emisi pemerintah provinsi, tidak hanya dengan membuat data iklim di tingkat sub-nasional tersedia, tetapi juga dapat dibandingkan. Menggunakan platform tersebut, pemerintah nasional dan sub-nasional sekarang dapat meningkatkan pemahaman mengenai bagaimana profil emisi provinsi berbanding dengan komitmen iklimnya, sedangkan organisasi masyarakat sipil, pihak swasta, dan publik secara umum dapat memperoleh wawasan lebih lanjut mengenai data iklim dan meminta pemerintah bertanggung jawab atas aksi iklimnya.

Tentang PINDAI: Platform Interaktif untuk Data Iklim (PINDAI) atau Indonesia Climate Data Explorer (CAIT Indonesia) adalah sebuah platform interaktif yang dikembangkan oleh World Resources Institute (WRI) yang memungkinkan pengguna untuk menelusuri dan membandingkan aksi iklim di tingkat sub-nasional. PINDAI merupakan bagian dari CAIT Climate Data Explorer yang dikembangkan oleh WRI, sebuah platform yang dirancang dengan perangkat yang berisi data iklim dan emisi yang komprehensif dan dapat dibandingkan. PINDAI bertujuan meningkatkan kesadaran dan pemahaman publik serta cara kita mengomunikasikan data iklim di Indonesia.