Tulisan dibuat oleh Bunga Goib, peneliti program Wahana Riset Indonesia.

Waktu telah menunjukan pukul 11.30 siang ketika speed boat kecil yang saya naiki bersama kawan-kawan dari Wetlands International Indonesia, Hutan Kita Institute dan para fasilitator desa dari Badan Restorasi Gambut menepi di dermaga Desa Banyu Biru, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Kami mencapai Desa Banyu Biru setelah mengarungi perjalanan selama 2,5 jam dari Palembang, ibu kota Sumatera Selatan. Desa Banyu Biru, bersama dua desa tetangga yakni Desa Srijaya Baru dan Desa Jadi Mulya, merupakan lokasi yang kami pilih untuk pengambilan data terkait kondisi sosial-ekonomi desa di wilayah gambut, dengan fokus pada mata pencaharian warga.

Matahari bersinar begitu teriknya ketika saya sampai di desa Banyu Biru di awal November tersebut. Menurut warga Banyu Biru, saya dan teman-teman cukup beruntung karena berada di desa ketika cuaca cerah. Ketika hujan turun, kondisi jalan yang belum beraspal menjadi lengket sehingga dapat memperlambat jalannya aktivitas di desa. Karena saya datang di awal musim penghujan, lahan-lahan sawah sedang dipersiapkan untuk penanaman padi. Pada beberapa lahan sawah juga terdapat bibit padi yang telah tumbuh setelah ditebar.

Selama tiga hari, saya banyak berbincang dengan penduduk Desa Banyu Biru, Srijaya Baru, dan Jadi Mulya. Ternyata, desa-desa tersebut mempunyai latar belakang dan sejarah yang serupa. Penduduk berasal dari Pulau Jawa yang mengikuti kegiatan transmigrasi mulai tahun 1981. Dari hasil berdiskusi dan berbincang bersama warga setempat, diketahui bahwa pada mulanya desa-desa ini masih berupa rawa gambut. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, lahan gambut di desa ini mengalami penipisan dan pencucian akibat berbagai aktivitas, salah satunya adalah pengolahan lahan untuk kegiatan pertanian.

<p>Sawah di Desa Srijaya Baru pada bulan November. Foto oleh Bunga Karnisa Goib.</p>

Sawah di Desa Srijaya Baru pada bulan November. Foto oleh Bunga Karnisa Goib.

Pertanian merupakan sektor penting, karena sebagian besar warga di ketiga desa ini merupakan petani padi dan sawit.

Ketiga desa tersebut juga memiliki memiliki kesamaan dalam sistem pengairan sawah, yaitu menggunakan sistem tadah hujan. Sawah tadah hujan adalah sistem pengairan atau irigasi yang bergantung kepada air hujan, sehingga mengakibatkan musim tanam padi di ketiga desa ini hanya berlangsung satu kali dalam setahun, yakni dari bulan Oktober sampai Maret. Hasil panen sawah tadah hujan bervariasi antara 2-3 ton gabah kering panen per tahun.

Dalam menjalankan kegiatan pertanian, desa-desa tersebut terkendala beberapa hal. Dua tahun terakhir, khususnya di Desa Banyu Biru dan Jadi Mulya, puso atau gagal panen padi terjadi akibat serangan hama hebat, yang menurut penduduk setempat diakibatkan oleh larangan membakar lahan sehingga hama seperti tikus tidak mati. Para petani juga mengalami kesulitan dalam mengolah lahan akibat kurangnya pengetahuan yang mereka miliki. Sumber pengetahuan mereka selama ini hanyalah pengetahuan dan informasi yang ada dari sesama petani. Sumber modal petani juga terbatas. Akses kredit dengan bunga rendah masih belum mencapai masyarakat di ketiga desa ini. Akibat berbagai kendala ini, terutama hasil panen padi yang hanya sekali didapatkan dalam setahun, masyarakat beralih ke komoditas sawit. Bergantung pada pola tanam dan penyebarannya, sawit dapat dipanen dalam waktu dua minggu sekali.

Beberapa tahun terakhir, muncul pula jenis mata pencaharian alternatif di desa-desa tersebut. Beberapa warga desa mengembangkan rumah burung walet dikarenakan hasil yang menjanjikan dan cukup besar. Pada tahun 2017, 1 kg sarang burung walet dapat dihargai 10-18 juta oleh tengkulak, meskipun harga ini berfluktuasi tiap bulannya. Panen sarang burung walet dapat dilakukan dua bulan sekali dengan hasil 0,2-0,5 kg sekali panen.

Waktu selama 72 jam tersebut berlalu terlalu cepat. Rasanya masih banyak sekali data yang perlu kami kumpulkan dengan dukungan dari segenap penduduk desa. Apalagi banyak di antara data-data tersebut tidak bisa saya dapatkan dari buku atau jurnal ilmiah. Pengalaman yang saya dapat begitu berharga, dan perjalanan tersebut memberi inspirasi riset bagi saya dan teman-teman khususnya sebagai peneliti muda dalam membantu masyarakat.