Oleh Anindita Prabawati, peneliti Wahana Riset Indonesia.

Adzan Subuh baru berkumandang saat saya selesai mandi. Beruntung, suhu air di Jakarta tidak sedingin air pegunungan. Meski begitu, terasa berat membiasakan diri untuk bangun dan berdamai dengan dinginnya air. Ketidakbiasaan ini rupanya berdampak pada keadaan fisik saat saya sampai di kantor, sekitar pukul 7 pagi. Angin jalanan membuat tubuh meriang saat tiga hari pertama kerja. Jarak yang cukup jauh dari rumah ke kantor memberi saya dua pilihan: Berangkat pagi atau agak lebih siang, dengan bonus kemacetan. Maka, pilihan pertama lebih saya pilih.

Dan, sebagaimana yang sering dialami newbie, adaptasi tidak melulu dalam hal ragawi. Terasa benar, irama berpikir memerlukan ketangkasan dibarengi kelihaian. Seperti tarian: lihai, tangkas, gemulai, dalam satu paduan rasa yang harus bisa dinikmati. Pun kerja, harus bisa dinikmati. Bagi saya, bukan hal mudah untuk mengobrol dengan banyak orang, apalagi dari berbagai latar belakang keilmuan yang berbeda, selera humor yang berbeda, dan yang paling terasa beda: irama/pola berpikir. Padahal, tak bisa dipungkiri kalau mengobrol sangat membantu dalam prosesi adaptasi. Saya seorang lulusan baru tanpa pengalaman penelitian nyata. Penelitian yang saya kerjakan adalah penelitian dalam laboratorium. Tentu, kondisi dalam lab dipertahankan sedemikian rupa untuk menunjang kehidupan objek yang saya amati. Maka, hasil yang saya dapat bisa diprediksi, jika bukan A, pasti B. Pasti.

Ketakjuban terjadi saat semua indera mulai merasa apa yang sesungguhnya terjadi di sekitar saya. Saat berhadapan dengan banyak ciptaan Tuhan yang tidak boleh dianggap sekadar “objek”. Takjub, heran, dan penasaran mengiringi proses saya menyesuaikan diri menjadi peneliti muda di sebuah organisasi penelitian. Sebuah wadah pemikiran yang bermisi mengejawantahkan gagasan cemerlang menjadi sebuah tindakan nyata: World Resources Institute (WRI) Indonesia. WRI Indonesia memberi saya kesempatan belajar bersama 18 kawan yang tergabung dalam tim Wahana Riset Indonesia. Tim yang dibentuk oleh WRI Indonesia sebagai inkubator mematangkan jiwa meneliti dan budaya berpikir ilmiah bagi pemuda-pemudi negeri.

Di dalam tim Wahana, kami mempelajari banyak hal: lingkungan hidup, ekonomi, iklim, dan kelangsungan hidup manusia. Penyesuaian diri dari seorang praktikan laboratorium dalam sebuah dunia yang holistik sungguh menantang. Saya terkesima menyaksikan pergulatan keilmuan dan keilmiahan orang-orang cemerlang di sekitar saya, yang bahkan bergulat dalam aras global. Setelah hari-hari berganti, interaksi antara tim Wahana dan personil WRI lebih sering terjadi. Dari intensitas ini, kawan-kawan mulai saling mengamati dan mengerti.

Dalam suatu obrolan makan malam yang santai, Mas Dean Y. Affandi, peneliti di bidang Inisiatif Satu Peta yang juga merupakan supervisor kami, memberi wejangan penyemangat kepada kami. Obrolan tersebut menjadi titik tolak memperluas cara pandang. Iklim yang terbina di WRI penuh pembinaan dan kematangan berpikir. Kawan-kawan belajar dan bekerja bersama, mengobrol dan berdiskusi tanpa menggurui, tanpa perlu merasa siapa lebih pintar. Profesionalitas sangat terasa saat bekerja, di luar itu, pembawaan yang santai dan kekeluargaan membuat kami akrab. Lingkungan seperti ini sangat membantu saya berproses dan beradaptasi.

Belajar, mungkin bisa saya artikan sebagai wujud syukur. Bersyukur pada Tuhan yang telah menganugerahi kita dengan akal dan hati. Akal dan hati adalah sarana yang telah dilekatkan pada raga yang harus kita kelola. Dan, dalam belajar mungkin akan ada ujian: Kejujuran pekerti dan kelembutan budi.

Kita berhadapan dengan semesta manusia: Kesadarannya akan diri dan alam, budi dan daya dari pemikirannya, kekuatan mencipta dan membangun, juga potensi merusak. Juga, perangainya serta hasil dari semua interaksinya yang tidak mudah diprediksi. Kejadian yang melibatkan manusia dan perkembangan pemikirannya di dunia tidak sekalem mikroba di cawan petri. Dan, inilah, wahana penelitian yang sesungguhnya.