Oleh: Sonny Mumbunan

Di desa itu, gajah dan ular bertarung. Dan pada sebuah siang yang tenang, kami menuju desa itu, desa Gajah Bertalut. Gajah Bertalut adalah salah satu kenagarian dalam Kekhalifahan Batu Songgan. Desa ini berada di hulu Sungai Subayang, Kabupaten Kampar, sebelah barat Riau. Desa ini dapat dicapai dengan menyusuri bagian sungai yang dalam dengan menggunakan perahu ukuran sedang atau kecil.

Sore itu, kami menggunakan perahu ukuran kecil bertenaga mesin yang disebut Robin oleh masyarakat setempat. Perahu jenis ini mampu mengangkut paling banyak lima orang termasuk supir perahu. Saya berangkat ke desa ini bersama Dean Affandi, seorang political ecologist di World Resources Institute (WRI) Indonesia yang mendalami seluk beluk masyarakat adat.

Perahu berangkat dari desa Gema. Di pelabuhan Gema tampak orang bongkar muat karet dan kayu dari sungai ke atas truk yang parkir di tepi sungai. Beberapa Robin diikat di pinggiran sungai.

“Air sedang rendah,” kata pemilik perahu.

Pada beberapa bagian perjalanan, ia mengingatkan, perahu akan melambat untuk mengatasi bagian-bagian sungai yang mendangkal. Ini satu alasan ia menyorongkan ongkos perahu yang lebih tinggi. Kami membayar Rp 350 ribu untuk perjalanan dari desa Gema menuju desa Gajah Bertalut.

Memunggungi mentari sore, pada pukul 2.45, perahu berangkat membawa kami bertiga menyusuri sungai Subayang dalam sebuah perjalanan yang meninggalkan kesan. Kesan itu kian menonjol semakin perjalanan perahu menghulu.

Alur sungai memanjang dan sesekali berkelok. Sisi kiri dan kanan sungai ditutupi vegetasi yang hijau dan rimbun. Suara mesin perahu yang kadang memantul dari dinding vegetasi hutan memecah keheningan hutan. Terang mentari sore kadang menyembul di atas rimbunan dan kadang terhalang dibalik rimbunan, menyisakan hawa sore yang sejuk.

<p>Desa Gajah Bertalut. Foto oleh Julius Lawalata/WRI</p>

Desa Gajah Bertalut. Foto oleh Julius Lawalata/WRI

Sepanjang perjalanan kami mendapati monyet, baik sendirian ataupun berkelompok, di tepi sungai atau di atas batu. Tampak juga kerbau berendam di sungai atau merumput di pinggiran sungai yang datar. Kami melihat warga setempat, laki dan perempuan, mandi, membersihkan diri di sungai. Orang dewasa dan anak-anak mencari ikan dari atas perahu atau menyelam bersenjatakan panah. Sepanjang perjalanan kami berpapasan dengan sembilan perahu yang menuju hilir.

Sungai Subayang membelah kawasan suaka margasatwa Bukit Rimbang Baling. Kawasan ini adalah suaka spesies satwa penting seperti beruang madu (Helarctos malayanus) dan tapir (tapirus indicus), juga bagi babi berjenggot atau Nangui (sus barbatus) dan tentu saja satwa karismatis harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae). Dimaksudkan untuk melindungi satwa-satwa seperti ini, pada tahun 1984 status suaka marga satwa diberlakukan pada kawasan Bukit Rimbang dan Bukit Baling yang terletak bersebelahan. Pada sore itu, kami kurang beruntung – kami tak bersua dengan satupun satwa-satwa ini.

Sungai Subayang menyusun Daerah Aliran Sungai (DAS) Kampar, sebuah bentang alam penting bagi Riau dan Sumatra Barat. Di dalam suaka marga satwa Rimbang Baling terdapat sejumlah nagari, satuan adat untuk pengelolaan sebuah atau beberapa desa. Pada beberapa bagian badan sungai, warga mendirikan kampung dan komunitas. Kehidupan mereka bergantung pada sungai, pada hutan, dan pada jasa yang bersumber dari jalinan ekosistem sungai dan hutan. Termasuk di dalamnya adalah 135 keluarga yang menempati wilayah adat di desa Gajah Bertalut. Mereka menempati wilayah adat seluas 4.414 hektar, berdasarkan pengukuran Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Riau dan diakui Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).

Di sungai, mereka menangkap Baung, Barau, Kipi, Kulai, Lelen, Juaro, Cangga, Pantau, Salimang, Luang, Pitulu, dan Lonjeng. Ikan-ikan ini dikonsumsi sendiri atau dijual. Baung atau Barau misalnya dijual seharga Rp 50.000 per kilo sementara Lonjeng diberikan begitu saja secara cuma-cuma. Ikan ditangkap di sungai lepas atau diambil dari Lubuk Larangan. Lubuk Larangan biasanya berlokasi di sungai dalam dan tenang, diorganisir oleh pemuka adat atau pemuda desa. Ia dibuka pada waktu tertentu, biasanya dua kali setahun atau pada saat acara khusus. Sepanjang perjalanan di hulu sungai perahu, kami melintasi beberapa bentangan tali atau kabel besi yang menandai batas atas atau batas bawah Lubuk Larangan.

Di hutan, masyarakat adat mengambil rotan, gaharu, madu, kulit merdang, atau sayur dan buah seperti pucuk nibung, rebung atau siminyak. Mereka juga menumbuhkan karet secara sporadis di hutan. Sore itu, di penghujung bulan Juli 2017, sekilo karet dijual Rp 4.000 di Gajah Bertalut di hulu sungai, dan seharga Rp 5.000 ketika karet ditimbang di Gema. Harga karet, komoditas paling penting bagi ekonomi masyarakat, memang sedang jatuh.

Setelah sekitar dua jam perjalanan, kami tiba pada pukul 5 sore. Di sana, sejumlah pertarungan sedang menanti kami. Pertarungan antara hak guna kawasan adat dan hak lindung kawasan konservasi. Pertarungan antara faedah dan mudharat pembangunan jalan darat. Pertarungan antara perlindungan satwa dan ekosistem dengan pemenuhan kebutuhan manusia. Secara kasat mata, pertarungan juga berlangsung antara gagasan konservasi alam sebagai sebuah proyek konservasi belaka dengan gagasan konservasi alam yang menempatkan hubungan manusia dengan alam dalam kenyataan sejarah dan tata kelola yang berkelindan sedemikian rupa dengan batas-batas biofisik Rimbang Baling.

Ketika sinar mentari ditelan senja dan perahu kecil kami bersandar di pelabuhan desa Gajah Bertalut, pertarungan bukan lagi antara gajah dan ular yang sama-sama mati di bawah pohon beringin, sebagaimana dituturkan secara turun-temurun tentang desa ini.