Oleh: Ary Lesmana

Bagi Anda penggemar kuliner, makanan yang satu ini menantang untuk dicoba. Bukan hanya pedasnya, tetapi untuk menikmati kuliner ini, perlu menempuh perjalanan panjang.

Untuk mencapai Batu Sanggan di Provinsi Riau, perlu menempuh perjalanan darat selama kurang lebih 2 jam dari Pekanbaru ke arah kecamatan Kampar Kiri. Dari dermaga yang ada di desa Gema, perjalanan dilanjutkan dengan perahu ketinting ke arah hulu. Orang menyebut perahu ini sebagai ’johnson’ atau ‘robin’ mengacu pada jenis mesin yang dipakai. Menyusur sungai Sebayang selama kurang lebih 1,5 jam, Anda akan disuguhi pemandangan yang menakjubkan dengan air sungai yang jernih, tebing, dan bukit yang masih rimbun dengan aneka pohon. Saat melintas di sungai, seringkali terlihat tali yang membentang di atas menyeberang sungai pada beberapa ruas. Jika beruntung, Anda akan melihat biawak bertengger di tepi sungai, ular yang melintas, dan kera-kera yang beratraksi mencari makan.

Desa Batu Sanggan merupakan desa kecil di pinggir sungai yang terdiri dari sekitar 130 Kepala Keluarga, yang termasuk dalam kawasan Suaka Margasatwa. Mata pencaharian utama penduduk adalah dengan menyadap karet, yang seringkali tidak menentu harganya. Belum ada alternatif mata pencaharian lain yang tersedia, sementara untuk menebang kayu di hutan, sulit dilakukan karena masyarakat terikat dengan peraturan adat yang sangat ketat dan larangan pemerintah berkaitan dengan status kawasan. Oleh karena itu, masyarakat mencoba merintis alternatif penghasilan dengan upaya pariwisata yang ramah lingkungan. Potensi wisata jelas nampak karena lingkungan yang masih terjaga, sungai yang jernih, keramahan penduduk yang membuat betah, dan kekhasan kuliner, salah satunya sambal bakacau.

Kuliner ini berupa ikan air tawar yang direbus, ditumbuk kasar, dan dicampur dengan sambal hijau. Ikan ditumbuk berikut dengan duri-durinya, sehingga harus sangat hati-hati ketika memakan. Paduan antara ikan yang masih segar, bumbu rempah, dan cabai hijau sungguh membikin selera makan meningkat. Kadang kala ditambahkan ubi dan sayur daun singkong muda yang banyak tumbuh di desa sekitar. Disebut sambal bakacau karena memang tampilannya yang kacau, bercampur antara cabai hijau, ubi, dan ikan air tawar. Kuliner ini memiliki ceritanya sendiri, alkisah, dulu kebanyakan orang tua memiliki banyak anak, sementara kadang-kadang tangkapan ikan sedikit, tidak mencukupi jika dibagi satu-satu untuk anggota keluarga. Oleh karena itu, dibuatlah akal dengan menumbuk ikan dan mencampur dengan cabai sehingga bisa dibagi rata ke seluruh anggota keluarga. Kisah ini menyiratkan kehidupan masyarakat Batu Sanggan pada masa lalu yang serba sulit, bahkan untuk mencari ikanpun tidak mencukupi untuk seluruh keluarga.

data Menangkap Ikan di Lubuk Larangan. Foto oleh Sonny Mumbunan/WRI

Saat ini, persediaan ikan air tawar di Batu Sanggan sebenarnya cukup melimpah, namun tidak bisa dipanen setiap saat. Ada beberapa titik di sepanjang sungai Sebayang yang ditetapkan oleh masyarakat sekitar sebagai “Lubuk Larangan” yang tidak bisa dieksploitasi oleh sembarang orang dan sembarang waktu. Wilayah lubuk larangan ditandai dengan tali panjang yang membentang di atas melintasi sungai. Di bawah tali itulah tempat ikan berkembang biak. Penetapan suatu ruas menjadi lubuk larangan dimusyawarahkan melalui kesepakatan adat yang harus dipatuhi seluruh anggota masyarakat adat. Jika ada yang melanggar, maka denda adat sudah menanti. Kesepakatan yang dipatuhi inilah yang membuat populasi ikan masih sangat terjaga, sungai yang tetap jernih dan hutan yang rimbun.

Jika beruntung, disamping menikmati sambal bakacau, Anda juga bisa menyaksikan saat panen ikan melimpah dilakukan di lubuk larangan. Dalam satu kali panen bisa didapat 30 kilogram ikan. Berbagai jenis ikan tawar berkecipak terjaring melimpah dalam satu kali tangkapan menjadi atraksi tersendiri yang bisa membayar lunas panjangnya perjalanan Anda.