Oleh Julius Lawalata, petugas lapangan WRI Indonesia.

“Menemu-kenali ruang partisipasi perempuan di Gajah Bertalut.”

Pada 15 September 2017, selepas Isya, 10 perempuan baru saja menyempurnakan kontur permukaan bumi pada maket tiga dimensi (3D) berbahan dasar karton bekas dan tepung. Hari itu mereka telah mencetak puluhan lembar adonan terigu seukuran baki, lalu ditempel berlapis pada tumpukan puzzle karton yang dikerjakan sehari sebelumnya. Tim kerja yang terdiri dari para ibu dan remaja ini sedang menyelesaikan maket wilayah Gajah Bertalut yang akan dipakai sebagai salah satu alat peraga Inisiatif Satu Peta di Level Desa (ITUPEDE) dalam perencanaan wilayah kelola hutan oleh masyarakat adat di kenegerian tersebut. Perempuan-perempuan ini adalah petani karet yang telah membuat rencana kerja selama 4 hari dan difasilitasi oleh WRI-Indonesia.

Muiz dan Dwiki berhasil menggantung proyektor di langit-langit rumah. Sinar proyektor tegak lurus ke lantai ruangan, menampilkan peta kondisi eksisting wilayah kenegerian Gajah Bertalut berskala 1:10.000 di permukaan maket 3D yang basah. Saat garis dan warna peta berada tepat diatas kelok dan kontur yang menandakan posisi proyektor dan maket berkesesuaian, maket ini langsung menunjukan kegunaanya sebagai salah satu media informasi visual yang efektif. Sambil sesekali jari menunjuk pada titik atau area tertentu di maket 3D, perempuan-perempuan ini memberi dan mengonfirmasikan informasi tertentu, sesuai pengetahuan pribadi. Setiap orang adalah narasumber di forum ini. Seperti kemarin, Astri memanfaatkan momentum ini untuk lebih mendalami cakrawala pikir perempuan Gajah Bertalut mengenai tata kuasa dan tata kelola sumber daya rumah tangga. Proses saling tukar menukar pengalaman dan informasi di antara mereka berlangsung dalam situasi santai, terbuka, hormat dan akrab, sambil mengelilingi maket basah itu.

<p>Hasil maket 3D dites dengan menggunakan proyektor. Foto oleh Julius Lawalata</p>

Hasil maket 3D dites dengan menggunakan proyektor. Foto oleh Julius Lawalata.

Orang-orang mulai berdatangan, terdiri dari pemuda, orang tua, termasuk AMAN dan khalifah Batu Sanggan. Semuanya laki-laki. Tidak percaya! Itulah ekspresi mereka saat pertama kali melihat tampilan maket tiga dimensi tersebut. Kata salut dan puji yang disampaikan mengantar saya untuk berasumsi bahwa peran perempuan Gajah Bertalut dalam urusan publik sejak lama tidak dimanfaatkan, sehingga kemampuan mereka untuk berkontribusi tidak diketahui laki-laki, bahkan oleh mereka sendiri. Berawal dari pujian tadi, secara perlahan laki-laki mengambil alih ruang pertemuan. Mereka duduk melingkari maket 3D dan berdiskusi. Perempuan remaja yang pertama keluar, lalu satu per satu perempuan lainnya meninggalkan ruangan. Sebagian besar pulang ke rumah, beberapa diantaranya beralih ke dapur, termasuk Astri, lalu menyiapkan kopi. 10 perempuan itu akan kembali besok untuk mewarnai maket, tahap akhir pembuatan peta 3D kenegerian Gajah Bertalut.

Cerita di atas adalah konstruksi realita sosial terkait pola relasi antara laki-laki dan perempuan di kenegerian Gajah Bertalut. Seorang tetua mengonfirmasi bahwa “Perempuan memiliki tempat tersendiri di ruang publik dan boleh menyampaikan pendapat. Tidak ada aturan adat yang membatasinya.” Tetapi, mengapa perempuan perlu meninggalkan ruang dialog ketika laki-laki terlibat? Bagaimana ITUPEDE melibatkan perempuan pada realita sosial sedemikian?

<p>Para laki-laki Gajah Bertalut mengambil alih ruangan pertemuan, melihat hasil maket 3D yang sudah hampir jadi. Foto oleh Julius Lawalata.</p>

Para laki-laki Gajah Bertalut mengambil alih ruangan pertemuan, melihat hasil maket 3D yang sudah hampir jadi. Foto oleh Julius Lawalata.

Pertama, Kekuatan Perempuan (dahulu).

Masyarakat Gajah Bertalut menjalankan norma adat yang mengatur bahwa silsilah keturunan, kesatuan suku dan pemimpin suku didasarkan pada garis keturunan ibu. Dua hal yang disebutkan pertama mengukuhkan perempuan sebagai pemegang hak ekonomi yang diwariskan secara turun temurun kepada anak perempuan, sedangkan hal yang ketiga mengukuhkan laki-laki sebagai pemimpin politik yang diwariskan turun temurun kepada kemenakan laki-laki. Dengan kata lain, perempuan adalah sentral kekuatan ekonomi dan sumber kekuasaan politik masyarakat saat itu; dalam memutuskan suatu perkara dan masa depan anak-kemenakan, baik internal maupun eksternal, maka Bundo Kanduang (perempuan) dan Mamak Suku (penghulu, dubalang dan orang tua laki-laki) memiliki posisi setara dan berwenang dalam musyawarah di rumah gadang. Demikianlah struktur organisasi persukuan mula-mula yang menempatkan perempuan dalam urusan publik sesuai norma adat yang dijalaninya.

Kedua, Pengasingan Perempuan.

Proses inkulturasi budaya selama beradab-abad di wilayah Kampar telah memberi nutrisi sekaligus inkubator bagi pertumbuhan bayi patriaki. Lalu kemudian hari, berdirinya kekuasaan politik berlatar negara bangsa (kerajaan/republik) lalu menempatkan laki-laki di posisi istimewa, termasuk membangun tempat pengasingan perempuan di ruang publik. Salah satu jejaknya tersirat dalam sejarah pembentukan kenegerian Gajah Bertalut yang menyimpan informasi tentang bagaimana perempuan diasingkan dari dunia ramai oleh setidaknya dua kekuasaan modern. Pengasingan pertama terjadi melalui perombakan struktur organisasi suku dalam formasi Malin, Mamak dan Dubalang pada masa kekuasaan Kerajaan Islam di Kampar Kiri. Bila Mamak dan Dubalang mewakili kelompok adat maka posisi Malin secara khusus memainkan peran kunci karena mewakili kelompok agama dan negara. Dengan kata lain, penempatan 4 Malin di tiap suku (rumah gadang) menjadi simbol berlakunya “adat bersandi syara, syara bersandi kitabullah” dan berdampak langsung pada keterasingan perempuan di dalam rumahnya sendiri. Pengasingan kedua terjadi di era Indonesia merdeka, terutama masa orde baru, melalui kebijakan pembagian kekuasaan desa dalam konstruksi “tali bapilin tigo” yang diperankan oleh pemerintah desa (negara), alim ulama (agama), ninik mamak (adat).

Selain, undang-undang perkawinan yang sangat melemahkan perempuan karena tidak dianggap sebagai kepala keluarga dan berbagai kewajiban sesuai aturan tertentu. Rumah gadang sebagai unit organisasi terkecil diganti dengan konsep dusun dan rukun tetangga (RT). Penjelasan di atas menjadi fakta bahwa peran politik perempuan adat yang diwakili oleh Bundo Kanduang tidak menjadi bagian dalam sistem pemerintahan modern melalui ketentuan hukum sejak berlakunya konsep negara bangsa (Kerajaan Islam Kampar Kiri dan Republik Indonesia). Dalam kurun waktu sangat lama yang menyertai dinamika pertumbuhan masyarakat maka tercipta budaya hukum dan kepatutan sosial (nilai baru) yang membenarkan bahwa perempuan memang tidak layak terlibat dalam urusan publik dan laki-laki lebih superior; Laki-laki bebas mengakses setiap aspek kehidupan masyarakat dan perempuan perlu bersikap seperti yang diceritakan di awal tulisan ini. Bahkan dalam segala keistimewaannya, Bundo Kanduang tidak nampak dalam cerita dan ulasan sejarah kenegerian Gajah Bertalut. Dalam hal ini, aliansi suku Chaniago, Melayu, Domo Ulak dan Domo Mudiak dalam mendirikan ke-naghori-an hanya dilihat sebagai aliansi 4 penghulu (laki-laki), bukan aliansi 4 Bundo Kanduang (perempuan) yang secara adat menguasai rumah gadang di kenegerian tersebut. Terjadi hegemoni bahwa sejarah persatuan suku (kenegerian) adalah sejarah laki-laki sedangkan posisi dan peran perempuan terbatas dan berlaku hanya di rumah, hanya terkait urusan domestik. Posisi formal Bundo Kanduang saat ini diganti oleh istri Datuk Pucuak tanpa peran yang jelas karena aktivitas perempuan dipusatkan pada organisasi PKK yang notabene dikuasai oleh istri kepala desa (wali). Hilangnya rumah gadang yang merupakan simbol peradaban dan ruang khusus perempuan adat di banyak kenegerian, menjadi sebuah indikator bahwa posisi dan peran strategis perempuan telah hilang dari kesadaran, pengetahuan dan kebutuhan kolektif masyarakat, termasuk di Gajah Bertalut.

<p>Para perempuan Gajah Bertalut menyelesaikan maket 3D dengan menggambar peta pada maket. Foto oleh Julius Lawalata</p>

Para perempuan Gajah Bertalut menyelesaikan maket 3D dengan menggambar peta pada maket. Foto oleh Julius Lawalata

Ketiga, Kemiskinan Perempuan.

Rata-rata rumah tangga terlilit hutang tahunan. Minimnya pendapatan yang dihasilkan dari lahan pribadi (karet) dan kelangkaan sumber daya hutan (kayu, jernang, burung, dan gaharu) dalam wilayah kenegerian saat ini semakin menyulitkan rumah-rumah tangga dalam memenuhi standar kebutuhan pokok minimum tiap anggotanya. Penjualan getah karet adalah satu-satunya sumber pendapatan langsung perempuan, karena mereka tidak mengakses sumber daya hutan. Pada sisi lainnya, kebutuhan pokok rumah tangga dan modal usaha bulanan berhutang pada induk semang dengan syarat menjual hasil produksi sesuai harga yang ditentukan di kemudian hari. Praktek ini merupakan model transaksi dagang yang dijalani oleh masyarakat di sepanjang Sungai Subayang, termasuk Gajah Bertalut. Celakanya, harga jual 1 Kg karet mentah 3 kali lebih murah dari harga 1 Kg beras sejak 3 tahun terakhir dan tidak ada patokan harga minimal. Relasi ekonomi ini telah dikembangkan oleh induk semang selama bertahun-tahun; bahkan masyarakat memiliki indikator tersendiri untuk mengukur besar utang seseorang/satu rumah tangga pada induk semang tertentu. Umpamanya, ada rahasia umum di kalangan ibu-ibu bahwa tingginya jenjang pendidikan seorang anak berbanding lurus dengan besaran beban hutang yang tercatat pada buku induk semang. Pada rumah tangga miskin, yang ada hanyalah kewajiban setiap anggota untuk menafkahi seisi rumah, termasuk perempuan bahkan anak di bawah umur. Peran perempuan sebagai pencari nafkah rumah tangga di luar rumah adalah hal yang tidak ditabukan di kenegerian Gajah Bertalut. Beberapa perempuan yang terlibat dalam kegiatan ini adalah buruh tani pada kebun karet milik induk semang atau keluarga tertentu, dengan sistem bagi hasil.

Perempuan dan Maket 3D

2 hal pertama yang diuraikan di atas merupakan gambaran umum tentang bagaimana posisi dan peran politik perempuan (adat) secara sistemik dilumpuhkan, diasingkan dan dihapus dari ingatan kolektif masyarakat Gajah Bertalut. Saat ini, perempuan dan kepentingannya jauh dari orbit percakapan di ruang publik, baik sebagai tubuh maupun jiwa, sebagai pelaku maupun nilai. Bila balai desa adalah representasi ruang publik maka posisi dan peran perempuan berada di belakang bangunan tersebut; mereka menyiapkan makan-minum peserta musyawarah. Nama dan tanda tangan perempuan jarang tercatat dalam daftar hadir sebuah pertemuan/musyawarah desa. Realitas ini adalah pemandangan "biasa" dan tidak dilihat sebagai persoalan bagi masyarakat, bahkan oleh perempuan itu sendiri. Pola relasi ini telah diyakini sebagai kebenaran sosial yang wajib dijunjung oleh setiap individu di dalam masyarakat. Sebagai anggota suatu kaum, tiap anggota adalah pilar penyangga dan penjaga nilai/aturan/keyakinan kaum itu. Konsekuensinya, keputusan-keputusan strategis kenegerian sepenuhnya berada pada laki-laki dan sangat dipengaruhi oleh elit desa yang menguasai lembaga-lembaga perwakilan seperti Ninik Mamak dan BPD. Elit desa diisi oleh kalangan tua dan pemimpin suku, yang juga berada dalam posisi yang tidak setara karena perbedaan kelas ekonomi (kaya-miskin) dan status sosial (jabatan). Kondisi ketidaksetaraan ini sangat kental dan menonjol dalam forum musyawarah dan pertemuan masyarakat, yang mana orang muda hanya bisa mendengar arahan dan keputusan orang tua/pemimpin, petani miskin mengiyakan kata-kata induk semang (tokeh) dan perempuan tidak terlihat dalam forum musyawarah.

ITUPEDE menghadapi realita sosial-politik kenegerian Gajah Bertalut sedemikian sehingga perlu menemukan cara-cara dan pendekatan tertentu untuk mendengar dan memahami kepentingan kelompok perempuan dalam urusan publik. Faktor ekonomi seperti yang diurai pada point ketiga di atas, menjadi satu-satunya alasan dan peluang saat ini bagi ITUPEDE dalam hal menemukan ruang bagi perempuan untuk berperan dan berkontribusi. Kepatutan sosial ini kemudian disinergikan dengan strategi dan pendekatan program dalam memfasilitasi proses pemutakhiran data dan informasi kenegerian Gajah Bertalut.

Selain peta dan data, ITUPEDE memasukan maket tiga dimensi (3D) sebagai salah satu media informasi dan alat peraga dalam diskusi kritis terkait perencanaan wilayah kenegerian/desa. Bila dalam hal pengumpulan data dasar desa (survey wilayah) didominasi oleh laki-laki, maka pembuatan maket 3D direncanakan dan dialokasikan sebagai ruang khusus bagi perempuan untuk terlibat dalam kegiatan ITUPEDE. Tiap peserta memperoleh kompensasi hari kerja, mengamini peran ekonomi perempuan sebagai pencari nafkah rumah tangga. Apapun itu, tidak dapat dipungkiri bahwa maket 3D wilayah adat kenegerian Gajah Bertalut berskala 1:10.000 telah menjadi signature mark kelompok perempuan di komunitas ini. Dalam bentuknya yang paling sederhana, kegiatan pembuatan maket 3D telah menjadi petunjuk dan titik berangkat bagi ITUPEDE dalam mengembangkan strategi dan pendekatan selanjutnya yang memungkinkan kelompok perempuan untuk terlibat langsung dalam urusan publik di desa.