Oleh Carolina Astri, peneliti Wahana Riset Indonesia

Seperti biasa, kemarau selalu membuat matahari tidak tahu diri. Panas! Ya, wajar saja karena saya dan Dwiki sampai tepat pada tengah hari di Pelabuhan Gema, Kecamatan Kampar Kiri Hulu. Tidak sepi, pun tidak riuh ramai. Beberapa laki-laki sibuk merapatkan barisan gelondongan kayu-kayu ke tepi pelabuhan. Gelondongan kayu ini seolah menjadi bukti dari gundulnya bukit tepat di seberangnya. Tunggu, jangan percaya dulu. Tentu ini hanya anabel, analisa gembel, dari saya yang belum tahu apa-apa tentang kondisi sebenarnya.

Tak banyak buang waktu, perahu kami pun menyusuri Sungai Subayang meninggalkan pelabuhan menuju Desa Gajah Bertalut Cukup satu setengah jam kami sudah sampai di tujuan.

Belum juga perahu merapat ke bibir sungai, dari kejauhan Bang Julius Lawalata, field officer WRI Indonesia di kantor Riau, sudah mulai mendokumentasikan kedatangan kami melalui lensa kameranya. Sungguh beruntung kami bisa terlibat bersama tim WRI Indonesia di Riau yang sedang melakukan pemetaan partisipatif tiga dimensi untuk Inisiatif Satu Peta di tingkat tapak. Inilah kesempatan pertama bagi saya dan Dwiki untuk turun ke lapangan sebagai peneliti muda dari Wahana Riset yang digagas oleh WRI Indonesia.

Para perempuan di Desa Gajah Bertalut sedang menyusun peta tiga dimensi untuk memahami lebih lanjut tentang tata kelola wilayah adat setempat.

Bicara mengenai penelitian, ini bukanlah kali pertama saya pergi ke pelosok untuk meneliti. Sebagai mantan mahasiswa pascasarjana Antropologi di UGM, alasan pembelaan dari saya untuk tidak segera lulus adalah karena terlalu menikmati proyek-proyek penelitian. Memang bukan sebuah alasan yang baik untuk dicontoh, tapi nyatanya saya benar-benar menikmati meninggalkan rumah selama satu bulan atau hampir setengah tahun untuk penelitian. Jadi, ketika diutus ke lapangan selama satu minggu secara mendadak oleh Dean Affandi, tanpa banyak basa-basi saya siap. Toh, saya pikir, meneliti dalam jangka waktu bulan ke bulan saja sudah biasa saya lakukan, apalagi yang hanya tujuh hari.

Tapi apa mau dikata, ternyata benar “bisa itu karena biasa”. Jadi, sebenarnya tulisan ini lebih merefleksikan pengalaman pertama saya sebagai peneliti muda Wahana Riset Indonesia. Saya harus beradaptasi dengan pola penelitian baru, yaitu memaksimalkan waktu dengan baik di lapangan. Saya hanya punya total tujuh hari. Itu pun belum terpotong perjalanan pulang dan pergi.

Rasa optimis pun mulai kikis mendapati kenyataan sulitnya mengelola waktu penelitian yang singkat. Kalau boleh jujur lagi, saya merasa kekurangan waktu melakukan pendekatan ke warga. Saya kehilangan momen duduk di rumah warga, mendengarkan mereka saling bercerita, meski tidak tahu apa yang diobrolkan. Tidak mungkin saya memahami bahasa setempat hanya dalam waktu seminggu. Apalagi biasanya warga lebih nyaman dan buka-bukaan ketika kita sudah dekat dan setidaknya bisa bahasa mereka.

Momen lain yang hilang adalah keterlibatan saya dalam aktivitas sehari-hari bapak dan ibu induk semang di sana. Biasanya, saya dapat memperhatikan mereka bekerja, turut membantu, atau bertanya tanpa perlu terarah langsung ke pokok permasalahan dari penelitian itu sendiri saat ikut aktivitas mereka. Atau bisa dikatakan, saya mempunyai waktu lebih untuk melakukan pendekatan ke masyarakat. Namun, bagaimana sekarang?

Singkat cerita: Sungguh menantang! Meskipun sudah biasa meneliti, ternyata saya harus beradaptasi dengan pola baru. Mau tidak mau, saya pikir adaptasi pola kerja perlu.

Saya mulai gelisah, tapi kemudian enyah. Saya mencoba menggali banyak informasi dari teman-teman WRI di Riau. Mulai memetakan siapa saja yang bisa saya jadikan informan dan yang perlu saya dekati untuk melengkapi informasi agar tidak bersumber dari kalangan tertentu saja. Saya khawatir minimnya waktu penelitian membuat hanya informasi dari kalangan elit saja yang terhimpun.

Saya bersiap pergi ke kebun bersama Omak Silfiana yang setiap hari bekerja sebagai petani karet di Desa Gajah Bertalut.

Untunglah tim sebelumnya sudah membekali saya segudang cerita tentang proses Satu Peta di Gajah Bertalut. Saya pun bisa lebih memaksimalkan waktu pada target-target yang belum tersentuh. Meskipun, tidak bisa diingkari, mendapatkan sesuatu yang holistik, bukanlah berasal dari proses yang instan. Oleh sebab itu, saya juga tidak akan kapok belajar memaksimalkan waktu dan memantapkan strategi penelitian.

Mumpung masih muda, masih banyak waktu untuk menambah jam terbang berproses dalam penelitian bersama teman-teman Wahana Riset lainnya. Saya pun mendapatkan perspektif baru dari latar belakang pendidikan kami yang berbeda-beda. Pengalaman kali pertama ini menjadi pembelajaran bagi saya. Senang berproses bersama Wahana Riset yang memberikan ruang bagi peneliti muda untuk belajar bersama para ahli dan masyarakat tentunya. Sebab rasa-rasanya belum sah kalau belum terjun ke lapangan. Akhir kata, sampai bertemu lagi, Gajah Bertalut!