Jakarta, 2 Februari 2018 – Badan Informasi Geospasial (BIG), hari ini bertepatan dengan Hari Lahan Basah Sedunia, mengumumkan Tim International Peat Mapping, yang terdiri dari para ilmuwan dari Remote Sensing Solutions GmbH (RSS), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Universitas Sriwijaya, sebagai pemenang kompetisi Indonesian Peat Prize yang berhadiah senilai 1 juta dolar AS. Kompetisi yang berlangsung selama dua tahun ini bertujuan untuk menemukan metode terbaik untuk memetakan luasan dan ketebalan lahan gambut, dan diikuti oleh 44 tim peserta yang meliputi berbagai pakar ternama di bidang gambut dan pemetaan. Dewan Penasihat Ilmiah (ilmuwan dan pakar yang menilai aplikasi peserta) memutuskan bahwa tim International Peat Mapping berhasil menawarkan metode yang relatif paling akurat, terjangkau, dan tepat waktu untuk memetakan lahan gambut. Pemerintah Indonesia akan menggunakan metode pemenang untuk melindungi dan mengelola lahan gambut, mempercepat restorasi gambut, dan mendukung tujuan pembangunan Indonesia.

Tim International Peat Mapping mengombinasikan teknologi berbasis satelit, LiDAR, dan pengukuran lapangan, yang kemudian menghasilkan metode pemetaan gambut yang akurat, cepat, dan terjangkau. Tim mengaplikasikan produk bernama WorldDEM yang menggunakan citra satelit untuk membuat model permukaan bumi dengan resolusi 10 meter, serta citra satelit Sentinel. Tim mengombinasikan teknologi berbasis satelit ini dengan model permukaan bumi yang dihasilkan dari LiDAR (teknologi yang menggunakan cahaya laser untuk menciptakan peta permukaan bumi 3 dimensi) yang diterbangkan dengan pesawat. Metodologi tim juga mencakup pengukuran lapangan untuk menghasilkan model yang dapat mengukur ketebalan gambut secara akurat. Tim juga melakukan verifikasi lapangan atas data gambut yang dihasilkan dengan berbagai teknologi tersebut. Anggota tim meliputi pakar pemetaan dan lahan gambut dari Indonesia, Jerman, dan Belanda: Prof. Dr. Florian Siegert, Dr. Uwe Ballhorn, Peter Navratil, Prof. Dr. Hans Joosten, Dr. Muh. Bambang Prayitno, Dr. Bambang Setiadi, Felicitas von Poncet, Suroso dan Dr. Solichin Manuri.

“BIG merasa senang dan bangga karena kompetisi ini telah menghasilkan metode terbaik untuk memetakan lahan gambut yang mengombinasikan ketepatan waktu, biaya, dan keakuratan untuk mendukung tugas BIG dalam pemetaan dan penyediaan data dan informasi geospasial. BIG akan memimpin proses untuk memanfaatkan metode pemenang sebagai rujukan utama untuk memperbaiki Standar Nasional Indonesia untuk pemetaan gambut skala 1:50.000, dan akan memulai proses tersebut dengan mengeluarkan peraturan Kepala BIG tentang pemetaan gambut pada skala 1:50.000. Dengan membuat metode tersebut sebagai standar, kita akan memperoleh peta gambut beserta data dan informasi spasialnya sebagai sarana melindungi lahan gambut secara lebih efektif dan efisien,” ujar Kepala BIG, Prof. Dr. Hasanuddin Z. Abidin.

Indonesian Peat Prize diprakarsai oleh BIG untuk merespon masih minimnya, kurang akuratnya, dan kurang terkininya data dan informasi gambut di Indonesia. Gambut, lapisan vegetasi dan tanah yang tebal dan basah yang tertimbun selama ribuan tahun, dapat ditemukan di banyak ekosistem tropis dan Indonesia merupakan rumah bagi hutan rawa gambut terbesar di dunia. Lahan gambut sangat kaya akan kandungan karbon dan keanekaragaman hayati, namun seringkali dikeringkan atau dibakar untuk dialihfungsikan menjadi lahan pertanian dan perkebunan.

Gambut adalah sumber emisi karbon yang besar ketika dibakar atau membusuk. Pada tahun 2015, lahan gambut berkontribusi pada sekitar 42 persen emisi di Indonesia. Kebakaran hutan dan lahan gambut yang terjadi di tahun yang sama, juga mengakibatkan sekitar 100.000 kematian dini, menimbulkan kerugian ekonomi yang mencapai 221 triliun rupiah, serta melepaskan 1,62 miliar metrik ton gas rumah kaca, setara dengan emisi yang dikeluarkan 350.000 kendaraan sepanjang tahun.

Pengukuran kedalaman, atau ketebalan, lahan gambut sangatlah penting. Makin tebal lapisan gambut, makin parah pula dampak ekologis yang ditimbulkan akibat gangguan terhadap gambut, termasuk emisi karbon. Ketidakpastian mengenai data dan informasi tentang gambut telah menghambat berbagai upaya perlindungan dan restorasi gambut serta menciptakan ruang bagi pihak yang tidak bertanggung jawab untuk terus melanjutkan alih fungsi lahan gambut, yang seringkali menyebabkan keringnya gambut dan timbulnya kebakaran.

"Kami sangat senang keluar sebagai pemenang Indonesian Peat Prize. Tim kami telah melakukan penelitian mengenai lahan gambut tropis sejak awal 1990, dan kami memiliki rekam jejak yang panjang dalam mendukung proyek konservasi dan restorasi lahan gambut. Kami siap mendukung penelitian dan kerja sama ilmiah antara universitas di Indonesia dan Jerman serta pemerintah untuk menerapkan dan mengembangkan lebih lanjut metode kami untuk mengelola, melindungi, dan merestorasi lahan gambut di Indonesia dan di seluruh dunia,” ujar Dr. Florian Siegert, perwakilan dari tim International Peat Mapping.

Dr. Bambang Setiadi, anggota tim International Peat Mapping dari BPPT, menyatakan bahwa penelitian menunjukkan, ketika tingkat air tanah di hutan rawa gambut tropis berada di posisi rendah di musim kemarau, gambut akan lebih rentan terhadap kebakaran. "Metodologi ini akan mendukung perolehan data elevasi topografi untuk lahan gambut, termasuk kubah gambut, yang dapat digunakan untuk memahami tingkat air tanah dan penilaian hidrologi lainnya untuk tujuan restorasi."

Indonesian Peat Prize tidak hanya merepresentasikan sebuah solusi terobosan bagi Indonesia, tetapi juga menyediakan jalan bagi masyarakat di seluruh dunia untuk bekerja sama memperbaiki tata kelola dan konservasi lahan gambut. Indonesian Peat Prize dipimpin oleh pemerintah Indonesia, dengan dukungan dari Yayasan David and Lucile Packard, pakar gambut dan pemetaan yang tergabung dalam Dewan Penasihat Ilmiah yang berperan sebagai juri, serta tim teknis yang berasal dari BIG, Kementerian Pertanian, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. WRI Indonesia merupakan mitra pelaksana Indonesian Peat Prize.

“Metode tim pemenang menunjukkan sebuah terobosan tekonologi, yang dihasilkan dengan cara yang transparan untuk memetakan lahan gambut secara akurat, terjangkau, dan tepat waktu. Indonesian Peat Prize juga merepresentasikan kolaborasi internasional dan perhatian untuk mencapai target global untuk membatasi kenaikan suhu bumi di bawah dua derajat celsius,” ujar Dr. David Schimel, co-chair Dewan Penasihat Ilmiah dan Ilmuwan Riset Senior di Laboratorium Propulsi Jet NASA.

Indonesian Peat Prize melengkapi inisiatif pemerintah Indonesia untuk melindungi lahan gambut dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Presiden Joko Widodo telah menjadikan pengelolaan lahan gambut sebagai prioritas untuk mencapai komitmen iklim Indonesia dalam Perjanjian Paris. Indonesian Peat Prize juga mendukung Kebijakan Satu Peta pemerintah, yang bertujuan untuk mengonsolidasikan informasi spasial dalam suatu platform yang sama.

Co-chair Dewan Penasihat Ilmiah sekaligus Ketua Himpunan Masyarakat Gambut Indonesia Prof. Dr. Supiandi Sabiham menyatakan, “Dewan Penasihat Ilmiah sangat menghargai karya yang dihasilkan para finalis dalam mengembangkan metode untuk memetakan dan melindungi lahan gambut, yang penting untuk dilakukan guna memenuhi komitmen iklim Indonesia. Mengelola lahan gambut secara lestari dan bertanggung jawab harus diutamakan, dan untuk mencapai tujuan tersebut, Indonesian Peat Prize memainkan peran yang sangat besar," ungkapnya.

Metode yang diajukan oleh para finalis mencakup kombinasi berbagai teknologi ternama dan inovatif, termasuk teknik penginderaan jarak jauh dengan pesawat seperti altimetri menggunakan laser, citra elektromagnetik, dan interferometri menggunakan radar serta pengukuran lapangan. Terdapat kemiripan di antara metode-metode yang diajukan oleh finalis, dan Dewan Penasihat Ilmiah membuat keputusan pemenang berdasarkan perbedaan dalam akurasi, biaya, dan kecepatan metodologi dalam memetakan gambut. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi http://www.indonesianpeatprize.net/.