Sebuah analisis baru telah mengungkap beberapa kabar yang lebih mengkhawatirkan lagi terkait krisis kebakaran hutan di Indonesia. Emisi dari kebakaran hutan yang terjadi tahun ini telah mencapai 1,62 milyar metrik ton CO2 – hingga mendorong peringkat Indonesia sebagai penghasil emisi keempat terbesar di dunia, melonjak dari peringkat enam hanya dalam kurun waktu enam minggu.

Analisis dari Guido van der Werf dan Global Fire Emission Database juga mengungkap bahwa:

  • Emisi dari kebakaran hutan di Indonesia sudah mendekati total emisi tahunan Brazil.

  • Pada saat ini, total emisi Indonesia berkisar sekitar 760Mt CO2 (belum termasuk emisi dari perubahan penggunaan lahan), yang berarti bahwa kebakaran hutan sendiri memacu total emisi tahunan Indonesia sebanyak hampir tiga kali lipat.

  • Kebakaran di Indonesia yang terjadi selama 38 hari dari total 56 hari (per 26 Oktober) telah melepaskan lebih banyak emisi gas rumah kaca dibandingkan keseluruhan ekonomi Amerika Serikat pada hari yang sama.

data

Meskipun Indonesia mungkin mulai lega dengan datangnya hujan deras yang menengahi kebakaran hutan dan kabut asap di Sumatera Selatan dan Kalimantan yang sudah terjadi selama berbulan-bulan hingga memecahkan rekor, dampak kerusakannya terhadap kesehatan manusia, ekonomi dan iklim global sudah terlanjur terjadi.

Memacu Krisis Iklim

Global Forest Watch Fires telah mendeteksi sebanyak lebih dari 127.000 titik api di seluruh wilayah Indonesia tahun ini, yang terparah sejak 1997. Kebanyakan titik api merupakan dampak dari pembukaan lahan hutan gambut untuk membuka ruang bagi berbagai komoditas perkebunan seperti kelapa sawit.

Sebagian besar pembukaan dan pembakaran lahan didanai oleh investor berskala kecil dan menengah. Gambut adalah salah satu penyimpan karbon dengan jumlah terbesar di bumi, selain juga melepaskan gas metana sehingga menyebabkan hampir 200 kali lipat kerusakan terhadap iklim global dibandingkan kebakaran biasa dalam skala yang sama. Terlebih lagi, kabut asap yang dihasilkan sangat beracun.

Dampak kebakaran ini terutama sangat signifikan menjelang konferensi iklim global di Paris akhir tahun ini. Deforestasi biasanya menyumbangkan sekitar 60 persen total emisi di Indonesia, dan negara ini telah berjanji untuk mengurangi deforestasi dan mengurangi emisi tahunan sebanyak 29 persen dari business-as-usual pada tahun 2030. Indonesia tidak mungkin bisa mencapai target ini jika tidak mengambil langkah-langkah serius untuk mengatasi kebakaran hutan yagn terjadi saat ini dan mencegah merebaknya kebakaran hutan di masa depan.

Kebakaran Hutan Mengakibatkan Korban Jiwa

Kebakaran hutan juga menelan korban jiwa. Sebagai akibat dari kebakaran hutan ini, kabut asap beracun sudah menyebar ke wilayah yang lebih luas di Indonesia, Malaysia dan Singapura, hingga mencapai Thailand dan Filipina, yang mengakibatkan penutupan sekolah, melumpuhkan bandara, dan memaksa enam provinsi di Indonesia untuk menyatakan situasi darurat. Kabut asap dari kebakaran tahun ini telah menyebabkan lebih dari 500.000 kasus penyakit pernafasan di Asia Tenggara dan mengakibatkan kematian setidaknya 19 warga Indonesia. Korban jiwa bisa terus berjatuhan akibat menghirup udara kotor selama berminggu-minggu. Pada akhirnya, lebih dari 40 juta warga Indonesia telah terkena dampaknya.

Menuju Pencegahan

Pakar dari WRI dan Global Forest Watch sudah menyarankan tiga cara yang jelas bisa dilakukan agar Indonesia dapat mengatasi krisis ini dan mengurangi resiko kebakaran di masa depan. Secara singkat, kami merekomendasikan:

  • Mengadopsi insentif finansial bagi para pekebun komoditas, sehingga dapat mendorong produksi komoditas berbasis hutan yang lebih berkelanjutan;

  • Fokus pada dukungan teknis dan pemetaan pada berbagai sistem yang mengharmonisasikan pengelolaan penggunaan lahan dan mengurangi konflik-konflik lahan; dan

  • Memperlancar dunia perizinan konsesi yang sangat suram melalui berbagai teknologi inovatif yang mendorong transparansi dan memberantas korupsi dalam pembuatan keputusan terkait penggunaan lahan. Indonesia sangat perlu memanfaatkan jeda waktu yang ada karena turunnya hujan untuk mempercepat reformasi. Tindakan yang cepat merupakan satu-satunya cara untuk memastikan bahwa bencana lokal dan global ini tidak terjadi lagi tahun depan.