Kelapa sawit merupakan komoditas unggulan Indonesia. Negara kita memiliki lebih dari 16 juta hektar perkebunan kelapa sawit dan menghasilkan hampir 60 persen minyak sawit dunia. Ekspor komoditas ini berkontribusi hampir empat persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan menyerap sedikitnya 16 juta tenaga kerja lokal. 

Sayangnya, meski merupakan komoditas penting nasional, sawit Indonesia dinilai menjadi salah satu penyumbang besar kerusakan lingkungan. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa budidaya kelapa sawit mempercepat deforestasi hutan tropis, mengurangi keanekaragaman hayati, meningkatkan kejadian kebakaran lahan gambut dan hutan; dan mengeluarkan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam jumlah besar ke atmosfer (Abram et al. 2017; Austin et al. 2017; Pacheco et al. 2017). Konflik sosial di perkebunan kelapa sawit juga dilaporkan meningkat setiap tahunnya (KPA 2018). 

Banyaknya dampak negatif tersebut menimbulkan citra sawit yang negatif di mata dunia. Jika hal ini terus berlanjut, maka permintaan ekspor minyak sawit akan menurun dan berdampak pada anjloknya harga sawit Indonesia. Hal ini akan berdampak pada perekonomian jutaan masyarakat Indonesia yang menggantungkan penghidupannya pada sektor sawit.  

Saat ini, Indonesia tengah melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki citra komoditas sawit. Berbagai kebijakan yang mengatur tentang keberlanjutan komoditas ini, terutama dari segi mitigasi kerusakan lingkungan, mulai dberlakukan bagi para pelaku usaha di sektor industri sawit, baik perusahaan, maupun pekebun swadaya.  

Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 38 Tahun 2020 tentang Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System (ISPO) misalnya, mengatur tentang kewajiban produsen kelapa sawit untuk mendapatkan sertifikat ISPO, yang merupakan sistem sertifikasi guna memastikan minyak sawit diproduksi secara ramah lingkungan. Selain itu, intensifikasi sawit, yaitu upaya untuk meningkatkan produksi dengan mengadopsi praktik budidaya terbaik dan tanpa membuka lahan baru, juga didorong pemerintah. Hal itu dilakukan melalui penegakan peraturan dan program, seperti peremajaan kelapa sawit rakyat, fasilitasi sarana dan prasarana, dan pendanaan peremajaan kelapa sawit.  

Upaya-upaya tersebut tentunya perlu didukung oleh perbaikan dalam hal ketertelusuran (traceability). Dalam konteks kelapa sawit, ketertelusuran adalah kemampuan untuk dapat merekam jejak produk minyak sawit hingga ke asal-usulnya. Hal itu dilakukan guna memastikan minyak sawit tersebut berasal dari sumber yang legal serta diproduksi dari wilayah yang bebas konflik lingkungan dan sosial. Dengan adanya sistem ketertelusuran yang baik di industri sawit nasional, maka upaya-upaya mendorong terciptanya minyak sawit berkelanjutan yang diterapkan pemerintah Indonesia bisa memiliki akuntabilitas yang baik, sehingga dapat memperbaiki citra produk sawit Indonesia di pasar dunia. 

Upaya mendorong minyak sawit berkelanjutan di Indonesia saat ini masih menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya, meski pekebun rakyat menguasai lebih dari 40% luas sawit negara, hanya kurang dari 1 persen kebun yang telah memiliki sertifikasi ISPO. Selain itu, masih ada berbagai permasalahan lain, seperti, tidak adanya legalitas lahan, terbatasnya akses terhadap informasi dan pengetahuan mengenai budi daya yang berkelanjutan, serta kurangnya pendanaan merupakan beberapa permasalahan klasik yang membutuhkan penanganan masif oleh pemerintah.  

Di sisi lain, keberadaan pengepul (middlemen) tidak diregulasi oleh pemerintah, sehingga siapapun dapat mengambil peran tersebut. Para pengepul juga tidak mendapatkan konsekuensi hukum apabila membeli sawit dari perkebunan di area kawasan hutan. Akibatnya, budi daya kelapa sawit di kawasan hutan masih marak terjadi karena masih dapat terjual di pasar. 

Perusahaan kecil dan pabrik tanpa kebun masih sangat menggantungkan kebutuhan buah sawit mereka kepada pengepul. Perusahaan kecil biasanya juga belum memiliki komitmen No Deforestation, No Peat, and No Exploitation (NDPE), dan tidak memiliki kapasitas untuk mengadopsi nilai-nilai keberlanjutan. Karenanya, perusahaan-perusahaan kecili ini umumnya masih  menerima, buah sawit ilegal yang berasal dari kawasan hutan. 

Percepatan ISPO dan peningkatan ketertelusuran merupakan dua hal utama yang saat ini menjadi fokus pemerintah untuk memperbaiki citra sawit Indonesia sekaligus meningkatkan perekonomian industri sawit nasional. Namun demikian, beberapa upaya perbaikan masih perlu dilakukan untuk menopang peraturan dan program kerja yang telah ada. Beberapa hal di bawah ini merupakan rekomendasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah: 

Meningkatkan jumlah dan kapasitas penyuluh sertifikasi ISPO 

Penyuluh merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat dan daerah yang penting dalan pendampingan pekebun untuk meningkatkan ilmu budi daya pekebun. Sayangnya, jumlah penyuluh pertanian di Indonesia saat ini masih terbatas. Idealnya, seorang penyuluh mendampingi satu desa. Namun, pada kenyataannya, 1 orang penyuluh dapat membawahi 2 desa. Di samping itu, penyuluh pertanian umumnya hanya menguasai ilmu usaha tani dan pendampingan kelompok, sehingga kapasitas mereka dalam memberikan pendampingan sertifikasi ISPO sangat terbatas

Karenanya, pemerintah Indonesia perlu memprioritaskan peningkatan jumlah penyuluh hingga mencapai jumlah yang ideal. Para penyuluh yang bekerja di wilayah sentra sawit juga perlu mendapatkan pembekalan khusus mengenai sertifikasi ISPO agar dapat mendampingi para pekebun mendapatkan sertifikat tersebut. 

Penataan pengepul 

Pengepul sawit memiliki peranan besar dalam peningkatan ketertelusuran rantai pasok sawit Indonesia,. Karenanya, pemerintah perlu menata peran pengepul sawit dengan menyusun regulasi terkait kewajiban mereka untuk mendapatkan izin usaha dari pihak berwenang. Selain itu, pengepul juga diminta untuk memberikan data geospasial dan data produksi yang akurat setiap mereka melakukan transaksi penjualan buah. Dengan tertatanya peran dan kewajiban pengepul, maka baik pemerintah maupun perusahaan dapat memantau alur rantai pasok sawit danguna mengetahui apakah buah sawit yang beredar berasal dari kawasan hutan atau tidak.  

Perpanjangan moratorium sawit dan penegakan hukum 

Peraturan mengenai penundaan dan evaluasi perizinan kelapa sawit yang dituangkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2018 dan berakhir pada 2021 lalu sebenarnya sangat potensial untuk mencapai target keberlanjutan sawit Indonesia. Inpres ini bertujuan untuk mengevaluasi perizinan kelapa sawit eksisting mengingat banyaknya kasus perkebunan sawit tanpa izin yang terjadi serta menunda pemberian izin baru kepada perusahaan sawit. 

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa regulasi moratorium sawit berpotensi untuk menurunkan deforestasi hingga 28 persen dan menurunkan gas rumah kaca dari perubahan tata guna lahan hingga 16 persen dalam periode 2010 – 2030. Perpanjangan serta penegakan hukum peraturan ini perlu diperpanjang untuk menunjukkan bahwa Indonesia berkomitmen dalam memperbaiki tata kelola sawit nasional, menurunkan deforestasi, dan mencapai target pengurangan gas rumah kaca yang diajukan dalam komitmen Nationally Determined Contributions (NDC).