Artikel ini pernah dimuat di Ekuatorial dan Earth Journalism Network

Bulan Desember ini akan menjadi momen yang menentukan. Masyarakat internasional akan berkumpul untuk membahas arah pembangunan berkelanjutan yang akan diambil dunia.

Konferensi perubahan iklim PBB di Polandia, COP 24, merupakan kesempatan bagi negara-negara untuk menunjukkan tindakan-tindakan yang telah mereka ambil untuk mengatasi perubahan iklim dan menanggapi peringatan yang dikeluarkan oleh Panel Antarpemerintah (IPCC) mengenai Perubahan Iklim dalam laporan terbarunya.

Tiga tahun setelah negara-negara menyampaikan komitmen mereka untuk berupaya membatasi kenaikan suhu global melalui Perjanjian Paris yang bersejarah, pembahasan yang dilakukan di Polandia ini akan mencoba menetapkan aturan terkait pakta iklim global, mendorong rencana negara-negara untuk meningkatkan komitmen mereka dan menyusun mekanisme nyata untuk memobilisasi pendanaan iklim.

Sebagai salah satu penanda tangan Perjanjian Paris, Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 29 persen dari emisi yang akan dihasilkan jika tidak ada perubahan yang dilakukan pada tahun 2030. Dengan dukungan dunia internasional, pengurangan yang dihasilkan dapat mencapai 41 persen. Sebagai salah satu dari 10 penghasil emisi karbon terbesar di dunia dengan area hutan hujan sangat luas yang dapat membantu menyerap karbon, Indonesia memiliki peran penting dalam membantu mewujudkan target-target perjanjian ini – yaitu membatasi kenaikan suhu global di bawah 2°C.

Namun yang masih menjadi pertanyaan: Seberapa jauh kemajuan yang telah dicapai dan bagaimana pencapaian itu dapat ditingkatkan?

Kemajuan Aksi Iklim Indonesia

Indonesia telah mengambil sejumlah tindakan untuk mengurangi emisi yang dihasilkan.

Negara ini telah mengembangkan platform Pemantauan, Pelaporan, dan Verifikasi (MRV) untuk memantau dan melaporkan pengurangan emisi yang telah dicapai melalui program-program nasional dan daerah. Indonesia juga telah memberlakukan kebijakan restorasi dan konservasi lahan, meningkatkan langkah-langkah penanggulangan kebakaran hutan, mengimplementasikan proyek percontohan untuk aksi adaptasi dalam rangka mempersiapkan masyarakat menghadapi dampak negatif perubahan iklim dan memperkenalkan pembangunan rendah karbon di Indonesia atau Low Carbon Development Indonesia (LCDI).

Di tengah COP24 yang bertujuan untuk meningkatkan target-target ini, bagaimana Indonesia dapat meningkatkan upayanya untuk mewujudkan janji menjadi aksi?

1. Menetapkan visi bersama. Inisiatif Pembangunan Rendah Karbon Indonesia oleh pemerintah akan menjadi dasar rencana pembangunan nasional jangka menengah berikutnya. Artinya, untuk pertama kalinya dalam sejarah, rencana pembangunan Indonesia akan memperhitungkan pengurangan emisi serta batasan-batasan lingkungan dan sumber daya alam yang ada. Untuk memenuhi komitmen yang signifikan ini dan memastikan penerapannya secara efektif, LCDI ini perlu diinformasikan kepada kementerian-kementerian lain dan para pimpinan daerah. Dengan begitu, para pemangku kepentingan ini dapat mengidentifikasi kebijakan rendah karbon yang dapat diimplementasikan oleh kementerian maupun pemerintah provinsi di yurisdiksi mereka masing-masing dan dalam rencana pembangunan daerah.

2. Mengatasi kebijakan tumpang-tindih antar lembaga. Di awal era pembangunan rendah karbon ini, banyak peluang yang tidak ada sebelumnya mulai terbuka. Namun, kemajuan yang signifikan tidak akan tercapai jika masih ada kebijakan-kebijakan yang saling bertentangan. Sebagai contoh, Indonesia berkomitmen untuk menggunakan energi terbarukan sebanyak 23 persen dari bauran energinya pada tahun 2025. Di sisi lain, sebagian besar dari rencana elektrifikasi 35.000 Megawatt pemerintah masih akan menggunakan pembangkit listrik tenaga batu bara. Hingga saat ini, Indonesia belum merencanakan cara untuk mengurangi penggunaan tenaga batu bara secara cepat. Hal ini bertentangan dengan kebijakan nasional dan tren global untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan. Sebaliknya, ada banyak contoh kebijakan dari berbagai penjuru dunia terkait solusi perekonomian dan aksi perubahan iklim. Misalnya, restorasi lahan gambut di Indonesia dapat membantu menghindari kebakaran gambut yang sangat merugikan dan meningkatkan penyerapan karbon alami. Indonesia juga dapat memanfaatkan infrastruktur alamnya, seperti hutan yang sehat dan lahan basah, sebagai solusi yang lebih murah bagi permasalahan kualitas air dan kekurangan pasokan. Namun untuk memelihara dan melestarikan infrastruktur alam Indonesia dibutuhkan berbagai upaya yang lebih strategis.

3. Memantau kemajuan. Dengan mekanisme dan metodologi yang jelas untuk memantau target pengurangan dampak perubahan iklim, Indonesia dapat merancang rencana pembangunan rendah karbon dan tahan iklim yang lebih terarah. Dengan begitu, pembelajaran yang didapatkan dapat lebih dipahami dan sasaran yang lebih ambisius dapat ditetapkan. Untuk memantau kemajuan yang telah dicapai, dibutuhkan metodologi rinci dan transparan yang dapat diterima secara internasional dan disesuaikan dengan keadaan setempat. Selanjutnya, metodologi ini harus diikuti dengan panduan yang jelas di tingkat nasional dan daerah. Dengan metodologi yang lebih jelas dan transparan, pemerintah daerah, kelompok masyarakat sipil, pelaku bisnis dan masyarakat akan dapat ikut memantau kemajuan aksi iklim seiring waktu.

Strategi Jangka Panjang untuk Aksi Iklim

Komitmen yang telah dibuat oleh masing-masing negara terkait pengurangan emisi, dikenal sebagai kontribusi yang ditetapkan secara nasional, menargetkan pembatasan kenaikan suhu pada tahun 2030. Meski demikian, aksi iklim harus terus dilanjutkan setelah batas waktu ini.

Indonesia dapat mengikuti langkah 10 negara yang telah mengajukan strategi jangka panjang untuk meningkatkan aksi iklim dan mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Strategi jangka panjang Indonesia dapat membantu mencegah investasi infrastruktur yang tidak sesuai dengan target masa depan rendah karbon dan tahan iklim, seperti penggunaan pembangkit listrik konvensional (brown power plant). Badan Pengawas Keuangan Indonesia baru-baru ini mengidentifikasi 34 pembangkit listrik tenaga batu bara terbengkalai di Indonesia. Pemerintah telah menghabiskan dana sebesar Rp4,94 miliar untuk membangun pembangkit-pembangkit ini. Strategi jangka panjang dapat membantu menghindari kejadian serupa di masa depan. Oleh karena itu, Indonesia dapat memanfaatkan inisiatif LCDI untuk membuka jalan bagi strategi pertumbuhan berkelanjutan jangka panjang Indonesia dan memulai persiapan untuk merancang strategi jangka panjang. Inisiatif ini dapat dikembangkan bagi rencana pembangunan jangka panjang Indonesia. Lebih penting lagi, inisiatif ini akan membuka peluang yang lebih besar untuk mewujudkan masyarakat rendah karbon.

Dengan status ganda sebagai penghasil sekaligus penghapus karbon yang berperan besar, Indonesia memiliki posisi strategis dalam proses negosiasi pengurangan karbon global. Pencapaian dan arah pengembangan Indonesia menuju pembangunan berkelanjutan jangka panjang harus dikomunikasikan untuk menunjukkan keseriusan Indonesia untuk menjadi bagian dari solusi global untuk menghadapi berbagai tantangan perubahan iklim.

Himayatus Shalihah, Hanny Chrysolite dan Reidinar Juliane adalah peneliti di World Resources Institute Indonesia. Semua pertanyaan terkait opini di atas dapat diajukan ke Himayatus.Shalihah@wri.org.