Artikel ini awalnya dipublikasikan di The Jakarta Post.

Sedari kecil, saya memiliki tradisi Idul Fitri yang sama, mulai dari membeli baju baru, pulang kampung, bertemu kerabat, makan-makan, hingga mengunjungi berbagai atraksi wisata. Semuanya menyenangkan, tetapi seiring bertambahnya usia, saya mulai menyadari bahwa ternyata Idul Fitri juga bisa berdampak buruk bagi lingkungan.

Di kampung halaman saya di Semarang, lapangan Simpang Lima setiap tahunnya berubah menjadi lautan koran bekas setelah salat Idul Fitri, karena orang-orang tidak mengambil dan membuang koran yang mereka gunakan untuk menjadi alas sajadah. Ketika di rumah kakek dan nenek saya dilangsungkan open house, seringkali saya menemukan banyak tamu yang tidak menghabiskan opor ayam, rendang, dan teh botol yang mereka ambil, sehingga menyisakan banyak sampah makanan. Berbagai tempat wisata hampir selalu penuh dengan sampah di musim Lebaran. Selama liburan Idul Fitri, kita cenderung bersikap konsumtif, sehingga berdampak pada ukuran lingkar pinggang kita yang meningkat dan lingkungan hidup yang semakin rusak.

Pemerintah Jakarta mungkin saja senang karena volume sampah Jakarta berkurang selama Idul Fitri, disebabkan banyak warganya yang mudik keluar kota. Namun, di daerah tujuan mudik seperti Bandung, Yogyakarta, Semarang, Solo, dan Malang, kenaikan volume sampah bisa mencapai 40 persen.

Selama Idul Fitri, banyak orang membeli berbagai baju baru yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Saya tahu ada beberapa kerabat saya yang hanya mengenakan baju Lebaran sekali saja dan tidak pernah memakainya lagi. Menurut Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) , musim Lebaran biasanya ditandai dengan kenaikan penjualan pakaian atau produk mode hingga 300 persen.

Pengeluaran untuk fesyen Lebaran yang tinggi ini bisa berdampak buruk bagi lingkungan, karena industri pakaian, terutama tipe fast-fashion, memerlukan sumber energi dan air yang besar, menghasilkan banyak polutan, dan seringkali menimbulkan masalah sampah. Terlepas dari berbagai manfaat ekonomi yang ditimbulkan dari kenaikan konsumsi selama Lebaran, kita juga harus memikirkan jejak ekologis dari pemborosan sumber daya alam selama musim Lebaran.

Idul Fitri seringkali diartikan sebagai hari kemenangan setelah kaum muslimin berpuasa Ramadan sebulan penuh. Beberapa orang mungkin menyamakan perayaan kemenangan ini dengan makan, minum, dan bersenang-senang secara berlebihan. Namun, Islam juga sangat menganjurkan keseimbangan dan sikap tidak berlebih-lebihan dalam segala hal. Di dalam Al Quran surat Al A’raf ayat 31 disebutkan, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap memasuki mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” Ini berarti bahwa seorang muslim dipersilakan merayakan Idul Fitri secara paripurna, namun tidak diperkenankan untuk bersikap boros dalam konsumsi makanan, pakaian, maupun sumber daya lainnya.

Selain itu, Islam menekankan pentingnya menjadi umat yang berada di tengah-tengah (ummatan wasathan) serta membentuk masyarakat yang adil dan setara. Sikap boros jelas bertentangan dengan prinsip moderasi dan kesetaraan ini. Lebih jauh lagi, ketika seorang Muslim bersikap mubazir atas berbagai sumber daya alam, ia kemungkinan juga menyia-nyiakan hak orang lain, termasuk generasi yang akan datang. Pengelolaan sumber daya alam secara hati-hati sudah sepatutnya menjadi bagian integral upaya kita menjadi khalifah yang baik di muka Bumi.

Idul Fitri dapat digunakan oleh umat Islam untuk merenungkan berbagai aspek ramah lingkungan dalam Islam sekaligus menerjemahkannya ke dalam aksi nyata. Ini berarti mengadopsi perilaku teladan terkait lingkungan hidup selama Idul Fitri dan sepanjang tahun.

Pemilihan jenis, jumlah, dan sumber menu makanan Idul Fitri dapat berdampak besar bagi lingkungan. Mari kita mengadopsi pola makan yang lebih sehat dan berkelanjutan ketika Idul Fitri. Membeli makanan lokal dan mengurangi konsumsi protein hewani, terutama daging sapi, dapat mendukung industri lokal serta mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor lahan. Lebih penting lagi, ketika ambil bagian dalam open house Idul Fitri, mari hanya ambil makanan dan minuman yang dapat kita habiskan untuk mengurangi sampah.

Berbicara tentang sampah, saat berbelanja berbagai penganan Idul Fitri, mari kita bawa tas belanja kita sendiri serta kurangi pemakaian kantong plastik. Kita sebaiknya juga menghindari penggunaan peralatan makan plastik sekali pakai. Saat pergi ke masjid atau lapangan untuk salat Idul Fitri dan kemudian ke berbagai tujuan wisata selama libur Lebaran, mari hindari membuang sampah secara sembarangan. Akan lebih baik lagi bila kita bisa memilah sampah menjadi sampah organik (yang dapat menjadi kompos) dan sampah non-organik (yang beberapa di antaranya dapat didaur ulang).

Selain itu, ada beberapa tip lain untuk mengaplikasikan sifat ramah lingkungan Islam yang tidak secara khusus terkait dengan Idul Fitri. Misalnya, saat meninggalkan rumah untuk melakukan salat di masjid, mari jangan lupa untuk mematikan lampu dan melepaskan kabel peralatan yang tidak terpakai dari saklarnya. Apabila ada AC di masjid yang kita datangi, jangan lupa menutup pintu saat masuk atau keluar dari masjid. Seorang muslim juga harus hemat air saat berwudu, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Saya akan berusaha menjadikan Idul Fitri saya tahun ini lebih hijau dan ramah lingkungan. Ini adalah resolusi saya untuk menjadi manusia yang lebih baik dan insan muslim yang lebih holistik. Bagaimana dengan Anda?