Selama lebih dari 50 tahun, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang didukung oleh pemerintah berasal dari eksploitasi dan ekspor kekayaan sumber daya alam perairan dan hutan. Eksploitasi ini seringkali merugikan masyarakat adat, yang telah menempati kawasan yang kaya akan sumber daya alam tersebut sejak dulu, dan tidak sesuai dengan hukum adat setempat.

Meskipun ada perbaikan dalam pengelolaan hak tanah masyarakat adat berkat usaha para aktivis, politisi, media, dan pejabat pemerintah, termasuk presiden Indonesia, masih panjang perjuangan untuk mengembalikan pengelolaan hutan adat, terutama di tengah kebijakan yang kontradiktif dan rumit.

Sebuah opini legal di tahun 2013 dari Mahkamah Konstitusi Indonesia membuka kesempatan bagi masyarakat adat untuk merebut kembali hak tanahnya. Berdasarkan pengalaman di Indonesia dan belahan dunia lain, hal ini akan membawa dampak baik bagi hutan dan iklim: hutan yang dikelola oleh masyarakat adat menunjukkan tingkat deforestasi yang lebih rendah. Mengingat pentingnya upaya pelestarian hutan dalam menjaga komitmen iklim nasional berdasarkan Perjanjian Paris, masyarakat adat dapat menjadi kunci dalam upaya perbaikan iklim.

Sebagai contoh, komunitas Gajah Bertalut di Riau, Sumatra, memiliki rekam jejak yang mengesankan dalam penggunaan pengelolaan sumber daya tradisional, dikenal sebagai adat, untuk melindungi hutan yang dapat menjadi contoh bagi komunitas sejenis yang lain di Indonesia.

Konsep Adat

Konsep adat telah mulai terdengar dalam hubungan pemerintah dengan masyarakat sejak masa penjajahan Belanda di Indonesia. Berasal dari Bahasa Arab, adat diartikan sebagai “kebiasaan”. Dalam hal pengelolaan tanah dan sumber daya, adat merujuk pada peraturan yang menentukan siapa yang berhak untuk memanfaatkan wilayah dan sumber daya dalam negeri, dan caranya.

Undang-Undang Indonesia tidak sepenuhnya mengakui hak-hak tersebut. Kenyataannya, sebagian besar wilayah negara dikategorikan sebagai Kawasan Hutan Negara, di mana otoritas untuk menentukan fungsi, arti, dan pemanfaatan hutan dan sumber daya berada di pemerintah pusat. Akibatnya, hak dan sistem pengelolaan adat yang sudah ada sebelumnya menjadi tidak berarti, sehingga masyarakat adat tidak lagi memiliki kepemilikan atas tanah dan sumber daya alam yang menjadi sumber penghidupan mereka.

Di tahun 2013, ada keputusan pengadilan yang menentukan bahwa hutan masyarakat adat, yang dikenal sebagai hutan adat, tidak seharusnya dikategorikan sebagai Kawasan Hutan Negara. Keputusan ini dapat membuka jalan bagi upaya besar untuk mengembalikan hutan kepada masyarakat yang telah lama menghuni dan menjaganya.

Kearifan Lingkungan Kuno

<p>Di Sungai Subayang. Foto oleh Carolina Astri, WRI</p>

Di Sungai Subayang. Foto oleh Carolina Astri, WRI

“Kami telah hidup di hutan ini dari sebelum negara ini terbentuk. Saya tidak tahu bahwa saya tinggal di area konservasi sampai ada beberapa polisi hutan yang datang ke desa kami dan mengatur cari kami hidup!” ujar Pak Ilyas, 64 tahun, salah satu tetua di Gajah Bertalut. Pemukiman tersebut terletak di tepi Sungai Subayang, di mana masih banyak hutan hujan yang belum terjamah. Hutan tersebut juga menjadi habitat bagi berbagai spesies yang terancam punah, seperti harimau Sumatera, beruang madu, dan tapir.

Menurut cerita masyarakat setempat, para leluhur dari masyarakat Gajah Bertalut datang dari Sumatera Barat. Sebagai masyarakat adat, Gajah Bertalut dipimpin oleh kepala suku yang disebut Mamak Suku, yang mendirikan Nini Mamak, majelis adat yang mengatur masyarakat dengan peraturan adat. Peraturan adat tersebut, misalnya, menentukan waktu yang diperbolehkan untuk memancing di kawasan Lubuk Larangan (secara harfiah “sungai terlarang”) untuk mencegah penangkapan ikan secara berlebihan, menjaga ekosistem sungai, dan memastikan keberlanjutan populasi ikan serta menjaga hutan melalui peraturan terkait pembudidayaan produk hutan.

Kawasan hutan adat Gajah Bertalut berada di dalam Suaka Margasatwa Bukit Rimbang dan Bukit Baling (Kabupaten Kampar, Provinsi Riau), suatu kawasan dengan luas sekitar 141.000 hektar. Pada tahun 1982, negara mengambil alih kawasan hutan adat Gajah Bertalut untuk dijadikan suaka margasatwa. Berdasarkan analisis kami menggunakan Global Forest Watch, kawasan Rimbang Baling telah kehilangan sekitar 3,54 persen tutupan hutan pada tahun 2000-2015. Persentase ini tiga kali lipat lebih besar dari hilangnya tutupan hutan di area hutan Gajah Bertalut dalam jangka waktu yang sama. Hasil ini mengonfirmasi temuan beberapa studi lainnya yang menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya alam terjadi secara lebih baik ketika hutan dikelola oleh masyarakat adat.

Membuka Jalan untuk Maju

Inilah saatnya kelompok adat di Indonesia mendapatkan hak untuk mengelola sumber daya alam hutan. Melalui program sosial kehutanan, pemerintah pusat saat ini telah membuka lebih banyak kesempatan bagi masyarakat, seperti di Gajah Bertalut, untuk mendapatkan dan mengelola tanah mereka. Contohnya, pada bulan Desember 2016, Presiden Joko Widodo memberikan status hutan adat kepada sembilan masyarakat adat. Pada bulan Oktober 2017, Presiden menyerahkan sembilan hutan lainnya, dengan luas total 16.400 hektar. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya bagi masyarakat adat.

Setelah adanya pengakuan resmi, organisasi non-pemerintah dan pemerintah daerah harus membuat strategi dan anggaran untuk membantu masyarakat memahami haknya dan melakukan pengelolaan hutan berkelanjutan.

<p>Proses pemetaan partisipasi di Desa Gajah Bertalut. Foto oleh Julius Lawalata</p>

Proses pemetaan partisipasi di Desa Gajah Bertalut. Foto oleh Julius Lawalata

Peta partisipasi yang sesuai dengan standar pemerintah perlu dibuat untuk mendukung pengakuan hukum yang telah diberikan kepada masyarakat Gajah Bertalut – di sinilah peran Inisiatif Satu Peta. Tim yang terdiri dari pemerintah Kabupaten Kampar, AMAN Kampar (aliansi lokal masyarakat adat), dan WRI Indonesia membantu masyarakat melakukan pemetaan perbatasan desa secara bersama-sama untuk memasukkan informasi geospasial terbaru yang akurat dan mengembangkan perencanaan ruang desa-desa agar dapat disetujui oleh pemerintah pusat.

Pengakuan hukum atas hak tanah adat di Gajah Bertalut telah memberikan kejelasan hukum dan membantu mereka mengambil alih hak atas sumber daya, serta memberikan kewenangan bagi badan adat untuk mengelola berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk akses dan kendali atas sumber daya hutan.