Sudah lebih dari 30 tahun sejak saya terakhir kali berada di Jakarta, dan kota ini sudah sangat berubah. Kota yang tadinya lengang dengan hanya sejumlah bangunan tinggi sekarang sudah berubah menjadi aglomerasi perkotaan kedua terbesar setelah Tokyo, kota yang sangat luas dengan 30 juta jiwa dan puluhan gedung pencakar langit, kota-kota satelit yang terbentang di dua provinsi dan deru lalu lintas yang hampir tanpa henti.

Indonesia sendiri telah bertransisi dari pemerintahan otoriter menjadi demokrasi, dengan lima pergeseran kekuasaan yang dilakukan dengan damai setelah mundurnya Presiden Suharto pada tahun 1998 setelah berkuasa selama tiga dekade. Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia telah tumbuh dari kurang dari $400 ketika saya mengunjungi pada tahun 1979 menjadi lebih dari $3.500 sekarang, dan tingkat kemiskinan nasional telah berkurang setengah sejak tahun 1999, sehingga hanya sekitar satu dari 10 orang yang hidup dibawah garis kemiskinan nasional.

data

Kemajuan pesat di ibu kota Indonesia ini banyak dipengaruhi oleh potensi di daerah-daerah, yang terbentang lebih dari 3,000 mil (5,000 km) dari Barat ke Timur, di kepulauan dengan 17,000an pulau ini. Kayu senilai ratusan miliar dolar telah diekspor selama tiga dekade belakangan, dan wilayah hutan tropis yang amat luas telah dibuka untuk memproduksi komoditas, terutama kelapa sawit. Tanaman ajaib yang awalnya ditumbuhkan di Afrika, kelapa sawit telah menjadi sumber minyak sayur utama di dunia, yang terkandung dalam berbagai macam produk termasuk es krim, kosmetik dan biodiesel. Indonesia merupakan produsen terbesar di dunia, yang menyumbangkan lebih dari setengah pasokan dunia.

Pertumbuhan yang amat pesat ini telah memakan banyak korban. Sejak tahun 2000, Indonesia telah kehilangan lebih dari 7 juta hektar (17 juta akre) hutan primernya, yang merupakan harta karun dalam bentuk keanekaragaman hayati yang amat berharga. Saking luasnya pembakaran hutan untuk pembukaan lahan pada tahun 2013, kabut asap yang dihasilkan memaksa Singapura untuk menutup bandaranya, yang terletak di sisi timur pulau Sumatera – Indonesia. Jakarta yang terletak di dataran rendah, yang sudah rentan terhadap banjir dan berisiko terhadap peningkatan ketinggian air laut yang diakibatkan oleh perubahan iklim, telah tenggelam sebanyak 13 kaki (4 meter) sejak kunjungan saya yang pertama, yang diakibatkan oleh pemompaan air tanah yang berlebihan dan seringkali ilegal. Meskipun ibu kota tersebut bangga akan apa yang dikenal sebagai sistem Bus Rapid Transit (BRT) yang terpanjang di dunia, 450.000 orang yang menaiki TransJakarta BRT sejauh 200 kilometer (124 miles) setiap harinya hanyalah sepotongan kecil perjalanan di kota tersebut. Berjalan kaki merupakan pengalaman yang lebih menyedihkan akibat deruman dan polusi kendaraan lalu lintas, dan kemacetan sangat parah sehingga di Jakarta Pusat, orang-orang secara rutin menghabiskan waktu selama satu jam di taksi untuk bepergian sejauh beberapa kilometer.

Nirarta Samadhi merupakan salah satu dari sekian banyak orang Indonesia yang sangat percaya bahwa kemakmuran dan perkembangan Indonesia hanya bisa dilanjutkan jika negara ini mengambil jalan yang lebih berkelanjutan. Seseorang yang dulunya menjabat sebagai Wakil Menteri di Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), badan implementasi presiden yang bertanggung jawab atas inisiatif-inisiatif khusus, beliau menjadi direktur pertama WRI Indonesia pada akhir tahun lalu.

Kurus dengan fitur memanjang yang menunjukkan wajah khas Jawa, Samadhi dikenal oleh semua orang dengan nama panggilan “Pak Koni”, kombinasi dari sebutan kehormatan Indonesia yang bisa diterjemahkan sebagai “ayah” dan nama panggilannya waktu kecil.

“Pembangunan kami bergantung pada pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik, untuk generasi sekarang dan yang akan datang,” Pak Koni menyampaikan kepada saya di kantor WRI Indonesia yang sederhana yang terletak di pusat ibu kota. “Kami bertujuan untuk mendukung tujuan-tujuan pembangunan pemerintah dengan opsi-opsi yang berdasarkan bukti yang dapat mempercepat pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan, sementara terus melindungi dan memperkuat sumber daya alam kami.”

Sementara di pemerintahan, Pak Koni memainkan peran terkemuka di beberapa inisiatif keberlanjutan, termasuk langkah inovatif berupa moratorium hutan pada tahun 2011 pada konsesi baru di hutan alam primer dan lahan gambut, juga Inisiatif Satu Peta yang bertujuan untuk mengharmonisasikan perencanaan tata guna lahan di Indonesia dan mengidentifikasi dan membantu menyelesaikan sengketa lahan yang muncul karena adanya persaingan antar peta.

Ketika membuka kantor WRI Indonesia, Pak Koni telah memiliki pengalaman selama lebih dari dua dekade dalam mengelola kerjasama WRI dengan pemerintah, perusahaan swasta dan LSM dalam menyediakan penelitian, analisis, dan informasi untuk mendukung dan memperkuat upaya-upaya perlindungan hutan. Upaya-upaya tersebut semakin diperkuat pada tahun 2014 pada saat peluncuran Global Forest Watch (GFW), yang menawarkan informasi terbaru mengenai hutan tropis di seluruh dunia dengan resolusi tinggi dan hampir seketika. Sejak saat itu, GFW telah menambahkan beberapa aplikasi yang fokus pada Indonesia, GFW Fires, yang melacak kebakaran dan kabut asap di seluruh Asia Tenggara, yang menawarkan peringatan berupa email dan pesan teks, dan GFW Commodities, suatu sarana bisnis untuk menangani deforestasi pada rantai suplai komoditas.

Beliau telah merekrut seorang staf muda yang penuh semangat, yang menceritakan kepada saya sambil makan di food court di suatu pusat perbelanjaan yang luasnya dua kali lipat lobi bangunan hotel dimana saya tinggal di lantai 42, mengenai betapa antusiasnya mereka bekerja untuk WRI Indonesia.

“Rasanya seperti bekerja untuk sebuah start-up”, kata Andhyta Utami, seorang peneliti yang mengerjakan isu kehutanan dan iklim. Baru-baru ini memenangkan beasiswa dari pemerintah Indonesia untuk mengejar gelar master di Harvard’s Kennedy School, Andhyta memundurkan keberangkatannya selama setahun untuk terus bekerja di WRI Indonesia. “Ini merupakan saat yang amat menyenangkan dan kami merasa memiliki peluang untuk menciptakan perubahan yang nyata,” katanya.

data

Pak Koni ingin segera mengembangkan cakupan kegiatan WRI Indonesia agar melampaui fokus tradisional di bidang kehutanan, dan mencakup restrorasi bentang alam, energi, dan kota berkelanjutan.

“Penelitian WRI dan upaya-upaya penelitian kolaboratif besar seperti Ekonomi Iklim Baru menunjukkan bahwa kebijakan berwawasan lingkungan bisa berjalan seiring dengan peningkatan pertumbuhan dan lapangan pekerjaan,” katanya. “Kami berencana untuk memanfaatkan pengetahuan global dan mengombinasikannya dengan keahlian lokal untuk memberikan berbagai opsi berwawasan lingkungan bagi pemerintah agar bisa mengejar sasaran-sasaran pembangunannya.”

Pada hari berikutnya, Pak Koni, Andika Putraditama, seorang peneliti yang bekerja sebagai wakil Pak Koni, Andhyta, dan saya menemui dua dari tiga anggota dewan penasihat WRI Indonesia. Dino Patti Djalal, yang juga bertugas di dewan direktur WRI global, dulunya adalah seorang wakil menteri luar negeri dan duta besar Indonesia untuk Amerika Serikat yang masih aktif dalam kepemimpinan generasi muda dan urusan luar negeri. Desi Anwar, seorang pembawa berita wanita ternama di Indonesia, yang baru-baru ini bergabung dengan CNN Indonesia, suatu kemitraan baru antara Turner International dan Transmedia, perusahaan media ternama di Indonesia, sebagai seorang eksekutif di perusahaan tersebut dan pembawa berita.

Topik percakapannya sangat luas: tentang bagaimana cara menyertakan isu-isu lingkungan agar diliput berita di Indonesia; berbagai tantangan yang dihadapi dalam membangun inspirasi filantrofis terkait pembangunan yang berkelanjutan di antara para konglomerat Indonesia, yang sebagian besar kekayaannya diperoleh dari industri ekstraktif, seringkali dalam kondisi yang meragukan; dan pesta ulang tahun ke-50 Pak Dino yang akan datang, dimana beliau mengatakan akan menyertakan kontes dansa dan “cara memeluk keluarga yang paling kreatif.”

Saya bertanya kepada Desi mengenai akar minatnya terhadap isu keberlanjutan. “Dunia alam adalah rumah kita,” katanya. “Tentu saja kita ingin menjaga kebersihannya. Kita membanggakan betapa kaya sumber daya alam Indonesia, namun kita tidak menciptakan sumber daya tersebut. Mereka diberikan kepada kita, dan merupakan tanggung jawab kita untuk melindunginya dan memanfaatkannya dengan penuh tanggung-jawab.”

Dino sangat antusias terhadap kegiatan yang akan dilakukan pada pertengahan bulan September dimana lebih dari dua belas duta besar dari negara-negara penghasil emisi terbesar akan menjelaskan janji iklimnya, atau yang dikenal dengan Kontribusi yang Diniatkan (Intended Nationally Determined Contributions (INDCs)), yang akan dikemukakan oleh masing-masing negara pada pertemuan iklim PBB di Paris pada bulan Desember (COP 21).

Tujuan dari acara tersebut adalah untuk meningkatkan kesadaran dan menambah pemahaman akan perubahan iklim secara umum, dan untuk mendorong dukungan dari Indonesia sendiri untuk mengedepankan INDC yang ambisius. Desi mengatakan bahwa ada berbagai persaingan untuk mendapatkan perhatian publik: Erupsi gunung api di Indonesia yang telah memaksa beberapa kali pembatalan pesawat ke Bali; Melambatnya perekonomian Cina yang mungkin memiliki dampak negatif terhadap perekonomian di Indonesia.

Meskipun demikian, katanya, perhatian akan meningkat saat mendekati konferensi iklim di Paris pada bulan Desember. Ia akan mengupayakan sebisanya, katanya, untuk meningkatkan kesadaran mengenai betapa pentingnya hal ini dan apa yang sedang dipertaruhkan.