This article is currently only available in Indonesian.

Di COP27, Indonesia telah berkomitmen untuk meningkatkan Nationally Determined Contributions (NDC) dan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) negara pada tahun 2030 sebesar 31,89% melalui upaya dalam negeri dan 43,2% dengan bantuan internasional. Dalam konteks pengurangan emisi, ekonomi memainkan peran penting karena membentuk sistem produksi dan konsumsi negara, terutama di beberapa sektor seperti energi, hutan dan penggunaan lahan, industri, dan kelautan.

Meskipun demikian, sejauh ini, sistem ekonomi global kita telah dibangun berdasarkan pola ekstraktif yang  mengeksploitasi sumber daya alam dan memprioritaskan penggunaan sumber energi yang tidak ramah dan murah seperti bahan bakar fosil. Dengan pesatnya pertumbuhan populasi manusia sejak abad ke-19, pola konsumsi dan produksi yang bersifat eksploitatif ini berkembang pesat sehingga menciptakan sistem ekonomi yang kompleks dan bertentangan dengan pelestarian sumber daya alam serta kesejahteraan manusia. Sistem ini telah lama berkontribusi pada peningkatan suhu global, menyebabkan kerusakan ekologi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan cuaca ekstrem yang merugikan produksi pertanian global, mengancam kesehatan, serta memperluas ketidaksetaraan pada aspek sosial dan ekonomi. Laporan kesenjangan emisi terbaru dari UNEP menyoroti bahwa dunia hanya memiliki peluang 14% untuk membatasi pemanasan di bawah ambang batas 1,5 derajat Celsius yang disepakati. Oleh karena itu, mendesain ulang pola produksi dan konsumsi kita serta memikirkan ulang sistem ekonomi kita agar selaras dengan ambisi membatasi pemanasan global menjadi suatu keharusan.

Memiliki pola yang hampir sama dengan negara dengan ekonomi berkembang lainnya, sistem ekonomi Indonesia saat ini masih mengikuti model business-as-usual atau umum, yang memberikan prioritas pada keuntungan ekonomi jangka pendek, dengan fokus pada pencapaian PDB yang lebih tinggi dan menekan tingkat pengangguran. Terlepas dari manfaatnya, model ekonomi untuk keuntungan jangka pendek erat hubungannya dengan risiko hilangnya keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem sehingga dapat mempercepat ketidakstabilan iklim dan biaya-biaya yang berkaitan dengannya. Indonesia telah melihat secara langsung besarnya biaya kerusakan ekologi, seperti yang dapat diilustrasikan oleh peristiwa kebakaran hutan besar pada tahun 2015, yang mencapai kerugian ekonomi sekitar 16,1 miliar dolar AS.

Melalui kerja sama dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), WRI Indonesia telah melakukan analisis pemodelan iklim-ekonomi, yang mengungkapkan bahwa model ekonomi umum tidak hanya berkontribusi pada degradasi lingkungan dan risiko iklim, tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Menurut analisis WRI (2023), dengan menganut model ekonomi ini secara terus-menerus dapat membatasi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi rata-rata 5,1% dari tahun 2025 hingga 2045, di bawah rentang target 6-7%. Oleh karena itu, jika pola ini terus berlanjut, visi Indonesia tahun 2045 mungkin saja terancam.  

Indonesia perlu mengubah sistem ekonominya ke arah ekonomi hijau yang berkelanjutan guna mengubah arah tren ini. Konsep ekonomi hijau bertujuan untuk membentuk sistem produksi dan konsumsi yang melindungi sumber daya alam. UNEP mendefinisikan ekonomi hijau sebagai sistem yang pertumbuhan pendapatan dan lapangan kerjanya didorong oleh investasi yang mendukung; (1) pengurangan emisi dan polusi, (2) peningkatan efisiensi energi dan sumber daya, sambil (3) menjaga keseimbangan keanekaragaman hayati dan ekosistem. Investasi tersebut memerlukan optimalisasi dana publik untuk menciptakan kondisi yang mendukung, yang mana, dalam konteks di Indonesia, termasuk dengan penggunaan dan alokasi anggaran negara, selain reformasi kebijakan dan peraturan pada umumnya. Menurut simulasi pemodelan WRI Indonesia, penerapan prinsip ekonomi hijau akan memberikan manfaat ekonomi jangka panjang bagi Indonesia, seperti pertumbuhan PDB rata-rata sebesar 6,3% selama periode 2025 hingga 2045 dan menciptakan 1,7 juta lapangan kerja hijau baru pada tahun 2045, yang mencakup 38% dari tambahan angkatan kerja. Dalam mewujudkan hal tersebut, semua sektor dalam sistem harus dirancang untuk bekerja sama, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini bertujuan untuk mengurangi potensi konflik sektoral yang mungkin menghambat perkembangan inisiatif utama.  

Merefleksikan Keadaan Ekonomi Hijau di Indonesia

Pertanyaan mendesak yang perlu dijawab adalah — dalam konteks pencapaian NDC yang ambisius oleh negara hingga tahun 2030 dan kontribusinya dalam upaya menekan pemanasan untuk tidak melebihi ambang batas 1,5 derajat — sejauh mana upaya Indonesia telah efektif dalam mewujudkan ekonomi hijaunya?

Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), telah mengambil langkah strategis untuk memastikan adopsi kerangka ekonomi hijau, terutama dalam dokumen perencanaan nasional strategisnya. Tahun ini, Pemerintah meluncurkan Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang (RPJPN) untuk periode 2025-2045, yang menekankan pentingnya strategi ekonomi hijau sebagai salah satu tujuan nasional utama. Pendekatan ini mencakup agenda-agenda kunci seperti pengembangan rendah karbon, transisi energi, pembiayaan hijau, dan ekonomi sirkuler. Namun, keberhasilan operasional agenda ekonomi hijau bergantung pada pelaksanaannya di tingkat sektoral, regional, dan masyarakat.

Selain itu, Indonesia telah menginisiasi beberapa dorongan kebijakan untuk membentuk kembali ekonomi nasional, termasuk pengembangan Undang-undang Penetapan Harga Karbon Negara pada tahun 2021, yang mencakup mekanisme pasar dan non pasar untuk memperkuat pendapatan yang mendukung transisi ekonomi. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Pajak mendukung hal ini dengan perincian rencana pajak karbon untuk mengurangi insentif emisi dari sektor energi. Beberapa waktu lalu, Bursa Efek Indonesia baru saja meluncurkan sistem batasan dan perdagangan karbon untuk memungkinkan perusahaan melakukan perdagangan unit karbon untuk pengurangan emisi dari pasar domestik dan internasional. Indonesia juga telah melakukan beragam upaya untuk mendirikan pendanaan kekayaan kedaulatan pertamanya, yang dikenal sebagai Indonesia Investment Authority, untuk menarik investasi di sektor-sektor hijau. Secara bersamaan, PT SMI dibentuk untuk menjembatani kesenjangan pembiayaan pengembangan infrastruktur hijau dalam negeri.

Di sektor Hutan dan Penggunaan Lahan, seiring dengan pembentukan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) untuk mengharmonisasi dan mengatur pendapatan dari keuangan pembayaran berbasis hasil negara, inisiatif transfer fiskal yang baru telah disahkan. Inisiatif ini mencakup indikator konservasi hutan dalam dana alokasi umumnya, dengan tujuan memberikan insentif dan memperkuat kapasitas keuangan pemerintah daerah untuk mengejar jalur pembangunan yang berkelanjutan.

Ambisi Indonesia saat ini untuk melakukan transisi ekonomi patut diapresiasi, namun Indonesia juga telah mengesahkan beberapa Undang-undang yang berpotensi merugikan transisi ekonominya dalam jangka panjang. Sebagai contoh, pembentukan undang-undang kontroversial tentang Penciptaan Lapangan Kerja pada awal tahun 2023, yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja, dan pada saat bersamaan melonggarkan standar lingkungan untuk investasi di Indonesia. Pada tahun 2020, Indonesia juga mengesahkan Undang-undang Pertambangan yang memberikan hak pertambangan otomatis selama 20 tahun. Selanjutnya, akibat krisis energi yang timbul dari konflik Rusia-Ukraina, Indonesia mengorbankan penggunaan keuangan publik dengan melipatgandakan pengeluarannya untuk subsidi bahan bakar berbasis fosil, LPG, dan listrik pada tahun 2022.

Dengan mempertimbangkan semua kebijakan dan inisiatif ini, meramalkan lintasan ekonomi Indonesia menjadi menantang. Meskipun ada upaya nyata untuk ekonomi hijau, ada pula peningkatan investasi ekstraktif secara sejajar yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ekonomi berkelanjutan dan hijau. Saat ini, ekonomi Indonesia bergantung pada jalur yang bersifat ramah lingkungan dan ekstraktif secara bersamaan.

Untuk membangun sistem ekonomi hijau yang sesungguhnya, kebijakan yang selaras menjadi sangat penting. Sebagai contoh, meskipun kerangka ekonomi hijau telah tercermin dalam dokumen perencanaan nasional strategis Indonesia seperti RPJPD, keberhasilannya sepenuhnya tergantung pada kemampuan untuk berhasil menerjemahkan kerangka tersebut ke tingkat operasional yang lebih konkret, khususnya di tingkat sektoral, sub-nasional, dan tingkat masyarakat. Oleh karena itu, pekerjaan ke depannya menuntut upaya bersama untuk mengintegrasikan kebijakan ekonomi hijau kunci dengan berbagai otoritas kementerian dan sub-nasional, dengan mengharuskan pembagian kerja yang terpisah.

Ke depannya, kebijakan ekonomi hijau harus memahami pentingnya alokasi dan penarikan dana. Hal ini tidak hanya untuk mendorong lapangan kerja dan mendukung pertumbuhan, tetapi juga untuk memberikan manfaat sosial-ekonomi dan lingkungan secara bersamaan. Seiring dengan ekonomi hijau membutuhkan transisi dari ketergantungan pada aset-aset beremisi tinggi yang sempat menyumbang pendapatan negara, terdapat kebutuhan mendesak untuk mengalihkan dana untuk juga mendukung langkah-langkah kebijakan yang mempersiapkan kesiapan talenta-talenta di Indonesia melalui program pelatihan dan peningkatan keterampilan. Selain itu, memberikan jaringan pengaman sosial untuk masyarakat yang terkena dampak transisi dan mempercepat penggunaan teknologi rendah karbon menjadi esensial, sambil melindungi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati. Semua kebijakan ini harus memperkuat satu sama lain, dengan potensi trade-off yang diantisipasi dan diatasi, untuk menjamin transisi yang adil menuju ekonomi hijau.

Kumpulan kebijakan komprehensif ini seharusnya berfungsi sebagai pendorong, yang secara strategis menggerakkan Indonesia untuk mentransformasi sistem ekonominya, terutama terkait dengan tiga sektor penghasil emisi tinggi: energi (termasuk industri dan transportasi), penggunaan lahan (termasuk kehutanan dan pertanian), dan pengelolaan sampah. Kebijakan dan target sektoral kunci diperlukan untuk memastikan peralihan menuju praktik energi dan penggunaan lahan beremisi rendah, serta pengelolaan sampah yang efektif. Kebijakan ini mencakup:

  • Transisi energi
    • Sumber energi terbarukan dalam sektor listrik mencapai 95% dari total kapasitas terpasang pada tahun 2060, dengan diperkirakan tenaga surya akan mendominasi porsi tersebut.
    • Efisiensi energi meningkat sebesar 3% per tahun untuk semua sektor permintaan (rumah tangga, komersial, industri, transportasi).
    • Penyimpanan Karbon Capture (Carbon Capture Storage) untuk Pembangkit Listrik Tenaga Batubara dan industri yang telah banyak digunakan sejak tahun 2030 mencapai pengurangan karbon 100% dari masing-masing sektor pada tahun 2060.
    • Penetrasi mobil listrik mencapai 58% pada tahun 2060, dan sepeda motor listrik mencapai 100% pada tahun 2045.
  • Transisi penggunaan lahan
    • Rehabilitasi hutan dan lahan gambut sebesar 1 juta hektar per tahun hingga tahun 2060.
    • Restorasi lahan gambut hingga 300 ribu hektar per tahun hingga tahun 2060.
    • Tidak ada deforestasi di lahan mineral dan area mangrove hingga tahun 2060.
    • Peningkatan luas Area Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesia Sustainable Palm Oil) hingga 60% dari total area kelapa sawit hingga tahun 2060.
  • Pengelolaan sampah
    • Pengelolaan sampah terpadu mencapai 100% pada tahun 2045 melalui 3R, kompos, RDF.
    • Peningkatan luas area tempat pembuangan sampah sehat sebesar 1060 ha dari tahun 2025-2060.
    • Pemanfaatan tangkapan metana di tempat pembuangan sampah sehat hingga 80% pada tahun 2060.

Indonesia perlu menyadari bahwa peralihan ke ekonomi hijau adalah suatu keharusan yang mendesak, mengingat bahwa biaya dari tidak melakukan transisi tersebut akan secara signifikan mengancam ambisi menjadi negara maju pada tahun 2045. Melangkah ke depan, pemimpin berikutnya di Indonesia memerlukan komitmen politik yang kuat untuk mengintegrasikan pertimbangan perubahan iklim ke dalam kerangka kebijakan nasional dan sub nasional. Integrasi antara berbagai kementerian dan upaya kolaboratif antara pemerintah nasional dan sub nasional sangat penting untuk memastikan bahwa semua aktivitas dalam sistem produksi dan konsumsi Indonesia, terutama di sektor-sektor dengan emisi tinggi, diarahkan untuk mendukung pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif, pengentasan kemiskinan, dan perlindungan lingkungan.